30 Mei 1619, Vereenigde Oostindische Compagnie atau yang sering disebut VOC menyerang Jayakarta dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk di sana.
Dan pada 4 Maret 1621, VOC mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia karena ingin menjadikan kota tersebut sebagai pusat pemerintahan VOC di Nusantara.
Kabar tersebut membuat Sultan Agung sebagai panembahan Mataram saat itu semakin geram. Sultan Agung bertekad mengusir VOC dengan menyatakan perang karena tidak ingin nusantara dikuasai dan diperbudak lebih lama oleh kompeni.
Sebelum itu, Sultan Agung telah mengirim mata-mata sebagai pelayan komunis di benteng Batavia bernama Putri Utari, yang kemudian informasi tersebut akan disampaikan melalui Temenggung Endranata.
Namun selama penyamaran, Putri Utari jatuh hati pada putra Jenderal Jan Pieterzoon Coen bernama Jack Vender Coen karena sifatnya yang terlihat berbeda dari kaumnya. Jack tidak berambisi menguasai Nusantara seperti ayahnya dan bersifat ramah pada penduduk pribumi.
Gayung bersambut, kecantikan khas nusantara Putri Utari membuat Jack Vender Coen jatuh hati. Mereka pun menjalin asmara secara diam-diam. Mereka berusaha menyelesaikan konflik antara Mataram dan VOC.
Namun nyatanya hubungan VOC dan Mataram semakin memanas.
Jack berniat memboyong Putri Utari ke Belanda untuk menghindari perang. Namun ajakan itu ditolak secara tegas karena kesetiaan Putri Utari pada tanah air dan memegang teguh amanah dari Sultan Agung.
Perang dahsyatpun tak terelakkan pada tahun 1628 dan 1629. Mataram mengalami kegagalan karena pengkhianatan Temenggung Endranata yang ternyata diam-diam berpihak pada VOC. Temenggung Endranata membocorkan strategi perang Sultan Agung pada Jenderal Jan Pieterzoon Coen.
Akibatnya, dalam perang ke dua, VOC berhasil menaklukkan pasukan Mataram dengan membakar lumbung persediaan logistic dan membuat pasukan Mataram mundur tak berdaya.
Ribuan pasukan Mataram gugur akibat pengkhianatan. Sultan Agung pun menetapkan hukuman pancung pada para pengkhianat Mataram. Terlebih kepada Temenggung Endranata. Kepala dan badannya dikubur secara terpisah dan tidak layak, hal ini menyimbolkan kebencian Sultan Agung pada pengkhianatan.
Di sisi lain, setelah mendengar kekalahan Mataram, Putri Utari meracuni Jenderal Jan Pieterzoon Coen sesuai dengan amanah Sultan Agung jika Mataram kalah dalam peperangan. Ini adalah cara Putri Utari membela nusantara meski harus mengakhiri hubungannya dengan Jack dan kembali pada tanah air.
Kematian Jenderal mengejutkan para petinggi VOC, mereka tidak menyangka telah meremehkan seorang pelayan bernama Putri Utari.
Putri Utari dijatuhi hukuman gantung di hadapan rakyat pribumi dan petinggi VOC termasuk Jack Vender Coen, kekasihnya.
Sebelum dieksekusi, anak buah jenderal memberi peringatan pada penduduk pribumi untuk tidak meremehkan kekuatan VOC. Karena sebenarnya, mereka telah mengetahui identitas Putri Utari sejak lama, termasuk hubungannya dengan Jack Vender Coen yang dimanfaatkan oleh Jenderal Jan Pieterzoon Coen.
Hal ini membuat Putri Utari sadar akan kebodohannya karena telah diperdaya oleh musuh yang selama ini dianggapnya kekasih.
Ia merasa sangat tersakiti menerima kenyataan ini di menit terakhir kehidupannya. Dadanya terasa begitu sesak-menahan tangis.
Dalam keadaan tangan terikat dan mata tertutup menunggu detik-detik kematiannya, Putri Utari mengepalkan tangannya menahan kebencian.
Dengan suara bergetar, Putri Utari mengucapkan sumpah yang akan mempengaruhi kehidupan Jack Vender Coen selamanya.
“Aku bersumpah atas nama tanah airku, Tuan! Atas nama hutan yang dipenuhi kegelapan di dalamnya! Meski mati sekalipun. Jiwa tuan tidak akan bisa lepas dari tanah Jawa kelahiranku hingga keturunanku sendiri yang akan membalas rasa sakitku!”
Sedetik kemudian, beriringan dengan suara jeratan tali yang menjerat leher Putri Utari. Jack tidak mampu melihat pemandangan menyedihkan itu. Ia hanya bisa menunduk-lemah menahan kesakitan yang tidak dirasakan oleh siapapun. Terlebih, saat mendengar sumpah Putri Utari, kekasihnya.
Terlambat, meski ia mengeluarkan air mata darah penyesalan sekalipun, tidak akan membuat kekasihnya itu bernapas kembali.
Langit pulau Jawa pun bergemuruh hebat dan mengguyur tanah pulau jawa selama tiga hari tiga malam lamanya.
*****
Tahun 2015
386 tahun setelah kematian Putri Utari
“Saya tidak mau tau! Mau kantor KEMENKUM HAM kebakar, kek! Kebanjiran, kek! Yang penting Bapak sebagai Notaris, bertanggung jawab sama legalitas perusahaan saya! Saya mau hari ini juga akta saya keluar! Kalau tidak kembalikan uang saya! U-tuh!”
“Tidak bisa begitu, Bu ….”
“Tidak bisa bagaimana?! Anda jangan curang jadi Notaris! ….”
Ceklek!
Di tengah keributan ini, aku melirik pada pintu kantor yang dibuka secara hati-hati dan melihat Jasmine, sahabatku, sedang mengintip dari celah pintu itu.
“Ayo, keluar … gue udah laper,” lirihnya berbisik-bisik.
Aku meletakkan jari telunjuk di mulutku dan memicingkan mata. Memberi isyarat jika keadaannya sedang di luar kendali. Jasmine melongos pasrah dan menutup pintunya kembali.
Aku kembali memperhatikan keadaan yang masih kacau di ruang Notaris yang hanya disekat lemari-lemari sebagai pemisah antara meja Notaris dan staff.
Ruangan ini tidak begitu besar, hanya seukuran 4x10 dengan staff yang terdiri dari empat orang. Dua orang bagian PPAT dan dua orang lagi bagian kenotarisan.
Aku menempati bagian notaris bersama rekan kerjaku bernama Ridho, yang saat ini sedang berdiri menjadi benteng Bapak Notaris, menjelaskan kepada ibu paruh baya yang tidak terima jika legalitas perusahaanya menjadi salah satu dari ribuan korban yang dokumennya turut terbakar saat insiden Kebakaran di gedung KEMENKUM HAM, Jakarta, satu minggu lalu.
Karena permasalahan ini menyangkut dokumen Notaris, terpaksa aku dan Ridho harus tetap berada di kantor menemani Bapak yang telah berusia 60 tahun itu. Karena kamilah sebagai pelaksana lapangan.
Ibu paruh baya itu terus mengoceh meminta ganti rugi jika dokumennya tidak selesai dalam tiga hari, sedangkan Bapak Notaris tak bisa berbuat banyak dan terus membela diri bahwa itu bukan kesalahan dari pihak kami.
Jam telah menunjukkan 12.45 menit. Ah, sial!
Waktu makan siangku menjadi korban atas keributan ini! Cacing di perutku sudah menabuh genderang perang.
Aku mengendap-ngendap menuju pintu dan memberi isyarat pada Ridho. “Kamar mandi,” Ia bergeming. Dan masih serius.
Aku menarik gagang pintu dengan hati-hati beriringan raungan caci maki ibu paruh baya yang terus melontarkan kalimat yang sama. Hanya diulang-ulang.
Ceklek! Saat pintu berhasil terbuka.
“Na-ra!”
“Iya, Pak?” spontan aku menutup pintu kembali dengan suara yang sedikit lebih nyaring karena terkejut.
“Bikin surat pernyataan pembatalan akta dan penyerahan uang kembali seratus persen atas nama Ibu ini, cepat!”
“Baik, Pak.” Aku kembali ke meja kerjaku disambut cengingisan ejekan Ridho. Dia tahu akal bulusku.
“Nah, kan, selesai! Saya tunggu pengembaliannya hari ini juga! Saya tidak ada waktu buat nunggu lebih lama. Kirim orang ke kantor saya untuk tanda tangan. Terima Kasih!”
Dengan arogan, Ibu paruh baya itu meninggalkan ruangan dan menutup pintu dengan sangat nyaring. Kami hanya bisa menghela napas. Selama empat tahun bekerja di kantor ini, belum pernah kutemui customer searogan itu.
“Kenapa orang kaya selalu berpikir urusannya lebih penting dari pada etika?” gerutuku pada Ridho.
“Takut miskin, kali,” timpal Ridho. “Kok, Bapak mau aja balikin uangnya?” tanya Ridho pada Bapak Notaris.
“Kita sudah jelasin secara rinci. Sudah kita tunjukin juga beritanya. Apalagi yang mau kita jelasin? Dia masih ngotot dan merasa benar. Justru Bapak kasihan sama dia. Orang seperti ini tidak mampu menerima kekurangannya. Kekurangannya tidak mampu terima kenyataan kalau rencana itu tidak selalu berpihak sama dia.”
Kami terdiam.