"Aku penjahat jujur. Aku penjahat baik."
***
Di kediaman Wilsoney yang megah, taman bunga di musim semi menjadi pemandangan terindah memanjakan mata, momen yang cocok untuk menikmatinya dengan secangkir teh dan camilan kering.
Sesuai permintaanku pada para pelayan untuk menyediakan semua itu di taman, aku sudah duduk anggun di kursi menunggu seseorang mengisi kursi di hadapanku. Siluet cantik itu pun mulai terlihat. Sosoknya berjalan ke arahku dengan aura keanggunan yang memesona.
Aku menarik senyuman senang. Dia mengenakan gaun serba putih dan rambut bergelombangnya dibiarkan tergerai. Rupa wajahnya yang cerah dan cantik, memiliki bagian dari wajahku. Ketika dia akhirnya duduk di hadapanku, aku menyapa dengan lembut.
"Bagaimana harimu?"
"Luar biasa! Aku harus berterima kasih pada kakak, karena telah membawaku keluar dari latihan dansa yang menyebalkan!"
Dia adalah gadis ceria yang lebih muda dariku. Usia kami terpaut lima tahun. Bisa tebak? Dia adalah adik perempuanku dari ibu yang berbeda.
Aku terkekeh mendengar keluhannya. "Memangnya apa yang terjadi?" tanyaku.
"Yah, aku menginjak kakinya beberapa kali lebih banyak, dan aku harus meminta maaf berkali-kali padanya."
"Bukankah sudah kewajiban guru menari yang mengajarimu?" kataku.
Dia menggeleng. "Guru menari itu hari ini tidak bisa datang karena sedang sakit," balasnya.
Aku sedikit terkejut. "Ah. Lalu siapa yang mengajarimu berdansa hari ini?" Aku bertanya penasaran.
"Yang mengajariku berdansa adalah kakak ipar."
Perlahan-lahan kedua sudut bibirku melemah. Senyum di bibirku sedikit turun setelah mendengar jawabannya. "Suamiku baik sekali mau mengajari adikku dengan sabar. Ah, karena katamu kakinya terinjak beberapa kali, bukankah saat ini dia membutuhkan perawatan? Aku akan ke sana sebentar untuk mengecek keadaannya." Aku lantas bangun.
"Tunggu!"
Dan suara adikku yang agak meninggi, berhasil mengentikan niatku. Aku menatapnya. Dia mengatakan. "Kakak ipar sudah diberi perawatan dari pelayan. Aku sudah memastikan dia baik-baik saja sekarang. Bukankah kakak memanggilku ke sini untuk menikmati teh? Maka aku datang, tapi kau malah ingin pergi?" Kalimat akhirnya terdengar kecewa, disertai mulut yang manyun dan ekspresi cemberut.
Berkat perkataannya, aku luluh dan kembali duduk dengan tenang. Aku percaya begitu saja padanya. Kemudian kami memulai acara minum teh. Pertama, aku menuangkan tehnya ke cangkir porselen adikku yang kosong. Lalu aku menuangkannya untuk diriku sendiri.
Kami berdua mengangkat cangkir bersama, dan meminumnya perlahan dengan cara yang anggun.
Tiba-tiba suara dentingan kasar terdengar. Aku menurunkan cangkir dari hidungku, dan melihat apa yang terjadi. Mataku membulat kaget. Cairan merah tampak mengalir keluar dari mulut adikku. Warna merahnya sangat kontrak menodai gaun putihnya yang mewah.
Aku syok melihat kejadian di depan mataku. Terlalu tiba-tiba dan tidak pernah terduga. Sehingga membuatku hanya diam mematung.
"Ka-kaak ...." Dia memanggilku dengan lirih.
Ketika tubuhnya terhuyung, aku tersentak berteriak. "NUNALLY!"
***
"Itu hal yang tidak mengejutkan lagi jika dia melakukannya."
"Bukankah sejak dulu dia memang selalu iri pada adik perempuannya?"
"Dia benar-benar keterlaluan."
"Sst, jangan membicarakannya keras-keras. Dia nyonya rumah ini. Bagaimana kalau dia dengar?"
"Kau juga, harusnya tidak menyebut dengan sebutan dia. Itu tidak sopan untuk membicarakan keluarga elit."
"Aku tak pernah menganggapnya sebagai nyonya. Dia tidak pantas untuk tuan Alaric."
"Nona Nunally malang. Dia memiliki kakak cantik tapi busuk. Selalu dengki, cemburu sampai berniat membunuhnya!"
Semua gunjingan itu dapat kudengar dari tempatku meringkuk. Suara mereka menggema di lorong bawah tanah yang hampa. Sedangkan aku hanya bisa bersimpuh pasrah di tanah dingin dengan bermandikan cahaya pucat rembulan.
Sejak kejadian siang itu, di mana Nunally muntah darah, semua orang menuding ke arah wajahku. Menuduhku telah melakukan percobaan pembunuhan terhadap gadis itu.
Aku berusaha membela diri, sampai harus memelas di bawah kaki suamiku, Alaric. Namun yang kudapatkan, hanyalah tatapan tajam yang menusuk jantungku. Aku tertegun melihat sorot mata itu.
Sungguh, meskipun aku sudah sering mendapat sikap dingin darinya, semua itu tidak memengaruhiku. Kecuali tatapan yang sekarang, sangat dingin, menatapku jijik. Lalu dengan sekali ucap, "bawa dia ke penjara!" mereka langsung menyeretku.
Aku berteriak memanggil namanya dan meronta-ronta tidak terima. Melihat wajah dinginnya untuk terakhir kali, saat itu aku mengerti. Bahwa hatinya telah berpaling dariku. Alaric telah berubah, tidak seperti dulu yang begitu menyayangiku.
Sekarang, aku dikurung di penjara kepolisian.
Sejak hari itu, Alaric tidak pernah melihatku lagi. Aku tidak tahu sudah berapa hari terkurung di tempat pengap ini.
Tiba-tiba suara langkah sepatu terdengar. Suara itu mendekat dan segera berhenti di depanku.
"Astaga, aku tidak tahu kakak tampak menderita di dalam sel ini," ujar suara Nunally.
Aku mengangkat kepalaku yang tertunduk. Pandanganku naik mengikuti tinggi tubuhnya, lalu terhenti tepat menatap wajahnya. Segaris senyum lebar dan mata memelotot di wajah Nunally membuatku tercekat membeku.
Ekspresi yang dia tunjukkan bukan ekspresi simpatik, melainkan wajah gembira dari senyuman jahat. Apakah ini hanya perasaanku saja kalau dia .....
"Hahaha!" Nunally tertawa keras. Aku melongo tak percaya.
"Tempat ini sangat cocok untukmu, kak! Mulai sekarang kau akan membusuk di dalam sana sampai tersisa tulang belulangmu! Sedangkan aku akan mengadakan pesta pernikahan yang megah di lantai atas bersama Alaric-ku~"
Aku sangat amat terkejut. Benarkah di depanku ini adalah adikku yang berharga? Adikku yang menjadi prioritasku? Adikku yang sangat kubela habis-habisan ketika dia dituduh mencuri gelang berlian milik Nyonya Dian, temanku?
Setelah kutahu semua kebusukannya, aku tidak menginginkan apa-apa selain hanya mati. Hidupku sudah hancur. Alaric, suamiku telah berkhianat. Nunally, satu-satunya adikku yang kusayang telah mendorongku ke tepi jurang.
Selama berhari-hari, berminggu-minggu, setiap makanan -yang hanya berupa roti dan susu diberikan sehari sekali- tidak pernah lagi kusentuh. Napsu makanku telah hilang.
Sepertinya perkataan Nunally terwujud. Buktinya sekarang aku hanya tulang dan kulit saja. Tubuhku sangat lemas, bahkan hanya untuk mengangkat jari telunjuk.
Aku terbaring menunggu malaikat maut datang, membawa jiwaku yang merana ini dan bertemu mendiang ibu kandungku. Lalu perlahan-lahan mataku mulai memberat, dan aku tidak dapat menahannya lagi untuk tidur.
"Apakah kau ingin membalas perbuatan mereka?"
Suara siapa itu?
Aku tak dapat melihat apapun. Aku tidak bisa merasakan permukaan apapun. Kupikir tubuhku sedang melayang di udara.
"Bagaimana aku bisa membalas mereka, sedangkan aku akan mati?" kataku tidak berdaya.
Suara itu tidak menjawab.
"Jika kau adalah malaikat maut, maka bawalah aku bersamamu. Aku sudah muak hidup!"
"Kau berbohong."
Aku terdiam sejenak. Mulutku memang berkata demikian, tetapi jauh di lubuk hatiku, aku ingin membalas dendam pada mereka, membuat mereka memohon-mohon di bawah kakiku.
"Baiklah. Mulai sekarang, Vivian Rosenberg akan ditarik kembali ke dunia. Manfaatkan kesempatan itu untuk impianmu."
***