"Cerah banget mukamu, Rin. Lagi senang ya?, " Tanya Bude Narti, tetangga sebelah rumah saat melihatku. Bude Narti, perempuan bertubuh subur yang sepantaran ibuku itu sedang mempersiapkan dagangannya. Bude Narti mengisi kesibukannya sesudah pensiun dengan membuka warung kelontong kecil-kecilan di halaman rumahnya.
"Eh iya Bude. Hari ini aku mau menjemput ijazah ke sekolah," jawabku sambil tersenyum sumringah. Rumahku dan rumah bude Narti hanya berbatas pagar setinggi pinggang, sehingga kami bisa ngobrol dengan leluasa meski sedang berada di halaman rumah masing-masing.
"Alhamdulillah lulus juga kamu ya, Rin? Abis ini kamu mau kuliah apa kerja?"
"Aku mau kuliah PGSD buat jadi guru, Bude. Itu pesan Ibuku dulu sebelum meninggal."
"Wah bagus itu. Ibumu dulu guru yang baik dan disayangi murid-muridnya. Padahal Ibumu itu aslinya orang Kota, tapi demi mengabdi buat negera, dia bersedia ditempatkan di desa terpencil ini sebagai pegawai negeri. Malah ketemu jodoh sama Ayahmu yang asli sini, dan betah nggak balik lagi ke Kota. Sampai meninggalnya pun disini," kata Bude Narti setengah merenung. Bude Narti memang sudah lama mengenal Ibuku, karena dulu sama-sama mengabdi di SD negeri yang ada di desa ini. Bedanya ibuku dulu adalah pegawai negeri, sedang Bude Narti hanyalah guru honorer yang digaji sukarela oleh komite sekolah. Sangat sedikit guru yang berstatus pegawai negeri disini, karena desa ini terpencil di kaki gunung. Jadi jarang ASN yang mau ditempatkan jadi guru disini. Aku lahir dan besar di desa ini, dan sangat suka tinggal disini. Cita-citaku kelak bisa mengabdi menjadi guru SD di desa ini setelah lulus kuliah PGSD nanti.
"Mimpimu ketinggian, Rin. Emang siapa yang mau bayar uang kuliahmu?," tiba-tiba ada yang menyeletuk dengan nada sinis. Aku menoleh dan melihat Tante Dewi datang untuk belanja di warung Bude Narti. Tante Dewi adalah adik dari Mama Tika, ibu tiriku. Kebiasaannya pagi-pagi datang belanja ke warung Bude Narti, lalu menumpang sarapan di rumahku. Dan tak jarang baru sore hari balik ke rumahnya sendiri. Alasannya kesepian di rumah karena suaminya adalah sopir truk sayur yang pergi dini hari dan pulang menjelang magrib. Tante Dewi memang belum punya anak, meski usianya sudah nyaris kepala empat.
"Ririn kan dapat uang pensiun almarhumah Rinta, lagipula almarhum Heri meninggalkan sawah dan kebun yang lumayan luas buat anaknya," bela Bude Narti.
"Anak-anaknya," koreksi Tante Dewi dengan raut wajah cemberut. Baik dia maupun Mama Tika memang tidak senang kalau orang lain mengingatkan tentang harta yang ditinggalkan orang tuaku. Ayahku memboyong Mama Tika dan anaknya Selvi ke rumah ini tiga tahun yang lalu. Entah apa yang membuat Ayah tertarik pada Mama Tika. Yang jelas tiba-tiba saja aku punya ibu dan saudara tiri setelah bertahun-tahun aku hanya berdua dengan Ayah setelah Ibuku meninggal. Dan sedihnya ayahku meninggal tak lama kemudian karena sakit, meninggalkanku dengan Mama Tika dan Selvi.
"Selvi itu bukan anaknya Heri," jawab Bude Narti ketus. "Ririn satu-satunya anak kandung Heri dan Rinta. Jadi Ririnlah yang paling berhak dengan harta Heri maupun uang pensiun Rinta"
"Kalau orang sudah menikah, mau anak tiri maupun anak kandung ya statusnya sama, jadi sama-sama berhak dapat warisan," balas Tante Dewi ngeyel. "Kalau uang pensiun Rinta ya buat si Ririn makan. Memangnya kakakku membesarkan anak ini ngga pake biaya?"
"Intinya Ririn punya duit buat melanjutkan kuliah," ujar Bude Narti lagi. "Awas aja kalo gue lihat anak ini sampe terlantar gara-gara si Tika!"
Tante Dewi mencibir. "Awas-awas apaan? Emangnya Mbak siapa? Sodara juga bukan. Jangan-jangan lu dulu naksir si Heri ya? Sayangnya mana mau Heri yang kaya itu sama janda tua jelek kayak lu. Kalo bukan karena kakakku, anak ini sudah sebatang kara dan hidup terlunta-lunta tanpa keluarga."
Habis bicara seperti itu Tante Dewi melengos pergi dan masuk ke rumahku. Tak lupa tangannya menyambar sebungkus gula ukuran setengah kilo.
"Eh itu gula dibayar dulu!" teriak Bude Narti.
"Takut banget ngga dibayar, masukin aja ke bon Tika," jawab Tante Dewi sambil mengibaskan tangannya. Bude Narti kontan beristigfar sambil mengelus dada.
"Kok ada ya manusia macam gitu?," gumamnya sambil meringis. Aku jadi ikut-ikutan meringis, malu melihat tingkah Tante Dewi yang ajaib.
"Pokoknya kamu nggak boleh terlalu lembek ya, Rin. Jangan sampai kamu dikibulin sama duo Mak Lampir itu. Rumah ini, ibu dan ayahmu yang bangun, jadi bukan harta gono-gini ayahmu sama si Tika. Uang pensiun ibumu juga adalah hakmu seratus persen. Kamu kan sudah cukup umur buat buka tabungan sendiri, jadi besok kamu urus aja supaya uang pensiun ibumu bisa kamu kelola sendiri."
Aku tersenyum terharu mendengar perkataan Bude Narti. Bude Narti benar, sudah cukup aku dikibuli Mama Tika dan Tante Dewi. Bahkan saudara tiriku, si Selvi suka ikut-ikutan menyuruhku ini itu. Aku merasa seperti jadi pembantu di rumahku sendiri.