Aku Peduli

Aku Peduli

Kemal Ahmed

0

Cerita ini dimulai dengan tubuh kurus dipenuhi keringat belum mandi sudah beberapa hari. Aku sangat benci berada di tengah padang rumput ini. Sepanjang mata ku meneropong yang kulihat cuman deretan rumput hijau berlapis. Semua badanku terasa gatal. Rasanya sangat tidak nyaman. Angin lambat menyapu ketombe rambutku.

Pohon besar ini adalah satu-satunya temanku. Setiap hari kuajak bicara dan responnya selalu sama. Diam dan tak bersuara. Sangat tinggi sampai membuat leherku tertekuk. Batangnya sangat besar. Daun begitu rindang dan lebat. Hujan tidak membasahiku berkat pohon besar ini. Tapi sangat aneh meliaht pohon sebesar ini kesepian di padang luas. Jika aku menjadi pohon ini sudah hidup ratusan tahun sendiri disini, Aku pasti sudah gila.

Langit begitu luas. Aku terbangun dari ketidakpastian. Mataku masih ruam. Ada banyak lebam di sekujur tubuhku. Gigitan bekas serangga terlihat merah merona. Kucoba tidak panik untuk menghemat cairan. Ini adalah hari pertama sebelum certita fantasy dimulai. Aku berdiri dan meneropong dengan mata jeli. Daratan hijau sampai ke ujung. Dibelakangku pohon sangat besar. Saat ini pikiranku membawa pada satu kesimupulan bahwa aku berpindah tempat saat tidur. Aku tidak mengingat satupun kejadian sebelum membuka mata tadi. Kotoran mataku pun masih ada.

Matahari bersinar panas. Kulitku terasa terbakar jika terus berdiri di tengah savan begini. Aku berteduh di bawah pohon besar. Sangat adem dan tentram. Sesaat Aku lupa ada masalah yang lebih besar. Kupejamkan mataku membayangkan apa yang akan terjadi kepedepannya. Hampir saja aku terlelap tiba-tiba terdengar suara ranting pohon retak. Aku tersentak kejut. Itu hanyalah seekor tupai kecil. Tupai kecil yang bermata lima.

Malam hari tidak jauh berbeda dengan siang tadi. Sangat dingin dan serasa ujung jari kakiku membeku. Aku berpikir akan mati malam ini, Tapi jika Aku mati malam ini cerita luar biasa tidak bisa berlanjut. Aku menekuk kakiku dan menggosok mereka dengan kedua tanganku. Itu sedikit membantu sama sekali. Tangan ku mulai gemetar. Telingaku memerah dan nafasku mengeluarkan asap. Perutku menjerit karena lapar. Aku berpikir jika tidur malam ini dengan kondisi begini Aku pasti akan mati. Mataku sedang kuajak kerjasama untuk tidak mengantuk. Aku terjaga sepanjang malam tapi ini sangat sakit. Seluruh tubuh ku terasa ditusuk seribu jarum.

Malam yang sangat panjang. Suara serangga membantuku terjaga tapi cahaya kunang menghipnotisku untuk tidur. Sangat menyebalkan berada dalam posisi seperti ini. Kugosok terus menerus kakiku yang membiru. Ujung jariku sudah tidak bisa kurasa lagi. Paru-paruku serasa membeku. Nafasku tidak teratur. Aku yakin akan mati malam ini. Disepanjang malam penderitaan ini, sebuah titik cahaya menyalip mata biruku. Itu adalah sang fajar bangkit dari perut bumi. Cahanya merembat di setiap sudut badanku. Rasa hangat mulai menyelimutiku. Nikmat dan nyaman dengan matahari pagi ini. Dingin sudah pergi jauh. Aku sudah bisa meregangkan badanku.

Cerita di hari kedua sebelas duabelas dengan kemarin malam. Saat ini aku harus bersiap dengan malam dingin ini lagi. Ranting pohon ku kumpulakan. Dedaunan kering aku kutip. Tapi semua ini akan tidak berguna jika malam ini hujan. Terliat awan gelap di ufuk barat berkumpul. Aku punya firasat tidak enak.

Akhirnya malam tiba. Senja menghilang disusul dengan kicauan burung. Begitu seram melihat savana yang begitu luas hitam pekat. Aku harus menyalakan api secepatnya. Udara mulai dingin. Tanganku letih menggosok dua potong kayu. Aku harunya belajar dari dulu cara menyalakan api tanpa pemercik. Berjam-jam aku tidak melihat asap. Perutuku sangat lapar. Kepalaku pusing lagi. Aku belum makan dari kemarin. Kenapa Aku tidak berfikiran mencari makan tadi siang bukannya rebahan.