Pagi ini sebelum memulai pekerjaan, aku menyampaikan rencana yang sudah lama kususun pada bosku, Bu Siran. Yang aku tahu, mood Bu Siran biasanya buruk di pagi hari, siang hari lebih buruk, dan puncaknya di sore hari yang paling buruk. Jadi, pagi adalah pilihan yang tepat. Agar dia menyetujui keinginanku, aku harus mengatur strategi seperti itu.
“Saya mau liburan di permakaman.” Aku menyampaikan maksudku langsung ke inti.
“Hah?”
“Saya mau liburan di permakaman.”
Bu Siran keheranan, tapi sepertinya alasanku cuti selama tiga hari sudah cukup jelas.
“Ngapain kamu liburan di kuburan?”
“Saya ingin bersenang-senang,” jawabku jujur.
“Orang bodoh mana pun di dunia ini tahu, nggak ada kesenangan di kuburan.” Wajar jika Bu Siran berkata seperti itu.
Namun, aku juga punya pendapat tersendiri sembari melebarkan senyumanku. “Saya senang, Bu.”
“Kayaknya cuma kamu di dunia ini yang senang ada di kuburan! Aku nggak tahu ya, kamu sengaja ngomong seperti itu buat nakut-nakutin aku atau nggak. Aku cuma mau tahu, kamu ini cuti karena apa?!”
“Saya sudah menyebutkan alasannya.” Kenapa juga dia mengira aku berbohong?
“Hah, sudahlah. Aku izinkan kamu cuti, tapi kamu tetap update kerjaan!”
“Terima kasih, Bu.” Aku tersenyum ketika Bu Siran membubuhkan tanda tangannya di surat cutiku. Akhirnya dia menyerah juga.
“Kamu harusnya ganti kata liburan dengan ziarah.” Ternyata dia masih ingin menceramahiku.
“Ini hanya masalah istilah, Bu. Ibu boleh menyebutnya ziarah. Kalau saya menyebutnya liburan.” Apakah ucapanku terlampau ngaur? Punya pendapat berbeda harusnya boleh saja, kan?
“Memangnya siapa yang ingin kamu ziarahi? Setahuku orangtuamu masih lengkap.”
Aku cukup terkejut ternyata Bu Siran hafal data yang aku isi di hari pertama aku bekerja di sini.
“Saya ingin mengunjungi orang yang berulang tahun.”
Bu Siran kembali memperlihatkan wajah sangarnya. “Kembali ke ruanganmu! Aku bisa tambah pusing dengar ucapanmu yang aneh-aneh. Mana ada orang meninggal yang berulang tahun!”
Saking leganya telah diizinkan cuti, tidak kupedulikan kata-katanya itu. Buru-buru kumelangkah keluar ruangan, tapi setelah tiba di pintu, teriakan Bu Siran nyaris saja membuatku terjengkang.
“Kenapa aku yang harus bayar? Dia sendiri yang milih di sana! Apa sih istimewanya anak itu?! Anak itu sudah nggak ada sejak tragedi sembilan puluh delapan lalu, tapi tetap saja dia milih anak itu!”
Aku sengaja bersembunyi di balik pintu karena penasaran. Bu Siran sedang menelepon seseorang. Untung saja hal itu terjadi setelah aku menyampaikan berkas cutiku. Kalau aku ajukan setelah ini, sudah pasti Bu Siran akan menolak mentah-mentah segala usahaku.
“Pokoknya aku nggak sudi bayar! Aku benci pengkhianat!”
Aku nyaris melompat karena Bu Siran melempar ponsel hingga isinya berserakan di lantai. Bu Siran meratap. Aku segera pergi sebelum dia mendampratku karena sedang mengamati diam-diam. Harusnya aku menenangkannya, tapi aku tahu dia tidak membutuhkannya.
.
.
Hari cutiku pun tiba. Sebelum berangkat, aku sempat menyapa Papa dan Mama yang tengah berdiskusi membahas koran langganan mereka di ruang tamu.
Papa yang pertama kali menyadari kehadiranku. “Pergi sekarang?”
“Iya, Pa.”
“Jadi menurut Papa siapa dalang kerusuhan dua puluh dua Mei kemarin?” Mama berusaha menarik perhatian Papa kembali.
Kakiku menjauh karena enggan mengusik lagi. Sekembalinya nanti, aku berjanji akan menghadirkan cerita seru pada Papa dan Mama agar mereka lebih menghargai keberadaanku.
Aku pun berangkat, meninggalkan Jakarta, meninggalkan Papa dan Mama yang sebenarnya ingin menghabiskan masa tua berdua saja, meninggalkan pekerjaan yang setiap hari merampas tenaga dan waktuku. Aku berencana liburan di Bogor, tepatnya di daerah Jonggol.
Sepertinya banyak orang yang kurang familier dengan Jonggol. Lokasinya memang jauh dari pusat kota Bogor. Jonggol biasanya menjadi jalan alternatif kendaraan-kendaraan yang ingin ke Bandung ketika Puncak sedang macet-macetnya.
Setelah perjalanan yang memakan waktu hampir tiga jam, aku berhasil sampai di wisma di mana aku menginap. Lalu, aku menyewa sepeda di penyewaan terdekat dan beranjak menuju permakaman. Perjalanan dengan sepeda di Jonggol adalah pilihan paling tepat, walaupun bisa saja aku memilih naik motor.
.
.
Selang 15 menit, aku tiba di gerbang putih besar dengan tulisan “Permakaman Taman Surga”. Ada beberapa pedagang yang menawarkan bunga, tapi aku sudah membawa bunga sendiri. Bunga krisan yang kuletakkan di kantong plastik yang kubawa.
Aku kembali mengayuh sepeda. Setelah melewati gerbang utama permakaman, aku berhenti kembali untuk melihat ke seluruh area. Di samping kiriku ada bukit besar yang menyerupai gunung. Sisanya adalah hamparan hijau yang menenangkan siapa saja yang melihat.
“Makamnya banyak sekali.” Aku semakin tersenyum. “Blok J di mana ya?” Aku berusaha mengingat lokasinya yang agak samar-samar. Tempat ini sedikit berbeda dari setahun yang lalu ketika terakhir kali aku berkunjung. Ada penambahan tanaman dan bunga-bunga di beberapa blok.
Selain pemandangan indah, aku juga takjub dengan desain nisan-nisannya yang kokoh dan terbuat dari batu marmer putih. Biaya perawatannya minimal tiga juta per bulan.
“Gila! Untuk makam saja rela menghabiskan uang segitu banyak!”
Ada orang-orang yang ingin menghargai keluarganya dengan mendirikan makam indah karena selama hidup merasa belum pernah membahagiakan.
Ada orang-orang yang ingin menunjukkan bahwa mereka memang punya banyak uang.
Dan aku. Aku kemari hanya ingin bertemu dengannya….
Kakiku tanpa lelah mengayuh sepeda mengikuti jalan beraspal yang menyambungkan puluhan blok permakaman. Aku bisa melihat mana keluarga yang rajin membayar iuran dan yang tidak peduli lagi.
Aku merasa miris ketika menemukan makam-makam berlumut, nisannya tertutup pasir, atau bentuknya yang tidak keruan. Aku menyebutnya dengan makam-makam kesepian. Keluarganya tidak membayar iuran lagi. Bisa jadi karena sedang kesulitan finansial. Bisa jadi karena memang sudah lupa….
Aku memutuskan turun dari sepeda dan memberikan sekuntum bunga krisan yang kubawa untuk makam kesepian pertama. “Kamu pasti adalah sosok yang luar biasa, Lea Cheng.” Kusebut nama si pemilik makam. Di nisannya bukan tertulis meninggal, melainkan menghilang di tahun 1998.
Aku menarik napas panjang. Bagaimana perasaan orangtua yang keberadaan anaknya sampai sekarang tidak jelas? Aku begitu penasaran mengapa keluarga Lea Cheng mendirikan makam untuknya. Apakah mereka sudah menyerah?
Setelah itu aku pergi ke blok D. Kutemukan makam serupa, tapi yang ini lebih parah. Nisannya tersisa setengah. Namanya Jerry Lim. Berbeda dengan makam sebelumnya, Jerry Lim meninggal di tahun 1998. Kuusap nisan itu seperti mengusap kepala bayi yang baru lahir. “Kamu sudah berusaha sekuat tenaga. Tidur yang nyenyak ya.”
Lalu, aku memberikan krisan pada makam-makam kesepian lain hingga bunga krisanku tersisa satu. Rata-rata dari mereka meninggal di tahun 1998, ketika gejolak politik di Indonesia sedang panas-panasnya. Menurutku politik itu sangat mengerikan. Saking mengerikannya nyawa-nyawa yang tidak bersalah ikut jadi korban, padahal mungkin mereka hanya sedang berada di tempat yang salah atau mereka hanya ingin menyampaikan pendapat.
Aku melanjutkan perjalananku ke komplek permakaman Blok J. Kupinggirkan sepedaku di depan gang dan masuk ke jalan setapak. Langkahku terhenti karena ada seorang pria berjas hitam yang tengah menabur bunga di makam tujuanku.
Aku berhenti tepat di samping pria itu. Ia mengeluarkan pandangan menyelidik.
“Kamu siapa?” tanyanya dingin.
“Anda sendiri siapa?”
“Saya anak bungsu Ibu Aristila.” Matanya menyipit. Ia semakin mencurigaiku. “Kamu pernah bekerja di bawah Ibu saya?”
Aku hanya tersenyum. “Ibu Anda nggak kenal saya, tapi saya kenal.” Kemudian aku menaruh bunga krisan terakhir pada makam itu—yang nisannya nyaris terbelah dua.
“Kamu tahu Ibu menyukai bunga krisan?” Pria itu terkejut
“Semua orang yang mengenal Ibu harusnya tahu.”
Kemudian aku mengeluarkan buah apel yang kuletakkan di atas nisan Ibu. Tak lupa aku menyodorkan apel padanya juga, tapi dia menolak, dan menatapku aneh karena bisa-bisanya makan apel di permakaman.
“Saya pikir makam Ibu nggak lagi dirawat, tapi ternyata selain saya ada juga yang mengunjunginya.”
“Nggak dirawat bukan berarti nggak dipedulikan.” Pria itu menarik napas panjang. “Padahal saya kemarin sudah meminta Ibu dimakamkan di permakaman biasa, tapi Ibu malah ingin berada di sini. Ingin dekat dengan anak haram itu.”
“Saya bisa bantu bayar iuran Ibu.”
“Saya bukannya nggak sanggup membayar. Saya sedang dalam masa sulit karena usaha saya ada masalah. Saudara saya yang lain nggak ada yang sudi membantu.”
Pria ini benar-benar sedang kalut. Namun tiba-tiba saja ia menatapku dengan intens. “Ngomong-ngomong, kamu ini siapa, sih? Kenapa sampai ingin membayar makam Ibu?”
Aku malah menyebutkan hal lain, tanpa ada niat menjawab pertanyaannya. “Wajar Ibu ingin berada di sini, permakamannya indah. Ibu bisa sekalian berwisata. Kita bisa sekalian berwisata.”
“Berwisata? Kamu mengada-ada.”
“Coba saja nanti pulang lihat ke sekitar jalan. Anda pasti menemukan banyak orang-orang yang berkunjung hanya sekadar berswafoto.”
“Saya benar-benar penasaran kamu ini siapa. Ah, saya juga belum memperkenalkan diri.” Ia lalu mengulurkan tangan kepadaku. “Jefri.”
Kugenggam tangan itu dengan erat. “Saya anak bungsu Ibu Aristila.”
Tiba-tiba Jefri melempar tanganku begitu saja. “Bercanda kamu!”
“Memang,” ujarku menunjukkan senyuman yang begitu lebar.
Jefri melewatiku begitu saja tanpa pamit. Aku menatap nisan Ibu tanpa ada beban. Tidak ada lagi yang mengusikku di sini. “Maaf, Bu setelah sekian lama akhirnya saya bisa ke sini lagi. Saya janji kali ini saya berada di sini lebih lama.”
Lalu aku mulai memakan apelku yang terakhir. “Saya nggak pernah liburan bareng Ibu. Selamat ulang tahun, Bu.”
.
.
Aku kembali ke Jakarta dengan hati yang lebih lapang. Bu Siran yang sudah tiba di kantor adalah hal yang kutunggu-tunggu. Sudah kumantapkan hati. Bu Siran pasti akan senang mendengarnya juga. Setelah tiba di ruangannya, aku menyodorkan kertas itu.
“Apa ini?”
“Saya ingin ngajuin resign.”
Bu Siran langsung menandatangani surat itu tanda setuju. “Baguslah kamu resign, kerjaanmu nggak ada yang benar! Hari ini hari terakhirmu bekerja!”
Aku melakukan apa yang diperintahkannya. Kuambil ranselku, lalu berjalan keluar kantor dengan senyuman kemenangan.
.
.
Siran menyadari ada surat asing di meja. “Apa ini?” Ia kemudian membaca isinya dengan suara yang dikeraskan. “Dear, Kakak pertama. Makasih sudah menerima saya sebagai karyawan, walau hanya enam bulan. Tujuan saya melamar di kantor karena saya ingin lebih dekat dengan Kak Siran. Kemarin saya bertemu dengan Mas Jefri. Kami sempat ngobrol sedikit. Saya senang ketika Mas Jefri bilang Ibu ingin dimakamkan di Permakaman Taman Surga karena ingin bersama-sama dengan saya karena saya nggak pernah tahu. Makam Ibu biar saya yang urus.”
Siran tidak bisa menghentikan getaran hebat di tubuhnya. Ia lanjut membaca surat itu. “Setelah sekian lama akhirnya saya bisa kembali di depan kalian. Kalian nggak akan mengenali wajah saya yang terpaksa dioperasi karena kecelakaan parah yang telah Kakak rencanakan. Kakak memang pintar. Dengan menjadikan saya seolah-olah sebagai korban kerusuhan di tahun sembilan puluh delapan, Kakak menyingkirkan saya dari rumah. Badan yang habis terbakar di liang lahat itu entah siapa pemiliknya. Lalu, kalian meninggalkan saya begitu saja di rumah sakit. Saya yang lupa ingatan sementara dibawa ke Dinas Sosial terdekat sampai diasuh oleh sepasang suami istri yang nggak pernah mengharapkan kehadiran saya. Saya memang anak Ibu dari pria lain, tapi saya mohon Kakak jangan memusuhi Ibu. Sesekali berkunjung lah ke makam Ibu. Dari, Jerry Lim atau Wen Junhui.”
Emosi Siran lepas ke udara. “Nggak mungkin! Jun harusnya nggak pernah kembali! Dia sudah jadi orang cacat! Nggak mungkin bisa sembuh!”