Aku Hanya Bonekamu

Aku Hanya Bonekamu

Rosemarry_21

5

Plak!!

Sebuah tamparan keras mendarat di wajahku. Kilatan amarah terpancar jelas dari tatapan pria dihadapanku. Dialah Gunawan Wicaksono, Ayahku sendiri.

"Pergi, dasar anak tidak berguna!" 

Seolah tamparan tadi masih tak cukup membuatnya puas. Kini dia kembali menoreh luka dihatiku, dengan melontarkan ucapan yang begitu menyakitkan. 

Tak terlihat sedikitpun belas kasihannya padaku, sebagai seorang Ayah. Baginya aku hanyalah seorang anak tidak berguna, karena aku tak bisa memberinya uang.

Rasanya sangat menyakitkan. Aku bahkan tidak pernah menyangka, jika aku akan mendengar ucapan menyakitkan itu, dari mulut orang yang selama ini kusebut sebagai Ayah. 

Laki-laki yang seharusnya menjadi cinta pertama seorang anak perempuan, tapi justru menjadi penyumbang luka terdalam dihatiku.

Namaku Happy Kirana Agnesia. Tak seperti namaku yang berarti bahagia, kehidupanku justru selalu di naungi awan mendung pembawa duka dan nestapa. 

Aku bahkan hampir lupa bagaimana rasanya bahagia, dan kapan kali terakhir aku merasakannya. 

Semua penderitaanku ini bermula sejak saat itu, tepatnya saat bisnis ayahku bangkrut. Sejak hari itu di dalam kamus hidupku hanya ada kesakitan, keputusasaan, dan kesedihan.

Ayahku yang syok dan tertekan karena jatuh miskin, perlahan mulai berubah menjadi seorang pemabuk dan gila judi. 

Alhasil semua itu berimbas padaku dan ibuku. Setiap kali ibu memintanya untuk mencari pekerjaan, dia justru marah besar dan menghajar kami tanpa ampun.

Karena itulah ibu terpaksa menggantikan tugas ayah menjadi tulang punggung keluarga, membiayai kehidupan kami dan membayar biaya sekolahku.

Awalnya aku berpikir untuk berhenti sekolah dan membantu ibuku meringankan bebannya. Namun ibu selalu saja menolakku dengan mengatakan, "Tetaplah bersekolah, jadilah anak yang pandai dan hiduplah lebih baik dari ibu dan ayahmu."

Tapi sayangnya di hari kelulusan yang aku dan ibuku nantikan, beliau justru pergi meninggalkanku untuk selamanya. Tanpa sepengetahuanku, Ibu ternyata mengidap penyakit mematikan. Dia menahan kesakitannya dalam diam, sendirian.

Aku menangis sejadi-jadinya di atas makam ibuku, memeluk erat batu nisan yang bertuliskan nama orang yang paling kusayangi. 

Tapi di saat seperti ini, orang yang menyebut dirinya sebagai ayah di hadapanku itu, sama sekali tidak memeprlihatkan wajahnya.

Setelah kepergian ibu, aku mencoba mencari pekerjaan kesana kemari, berbekal ijasah SMA yang baru kudapatkan. Tapi mirisnya, tak ada yang mau menerimaku. Hingga akhirnya aku memilih untuk berjualan kue keliling, meneruskan usaha mendiang ibuku.

Dan kini akhirnya aku terbebas dari sosok Ayah yang kejam. Harusnya aku senang bukan? Tapi entah kenapa, aku sama sekali tak merasakan hal itu.

Aku menyusuri jalanan dengan tas besar berisi semua barang milikku yang bisa kubawa. Ingin rasanya aku menangis, tapi air mataku seolah mengering karena sudah terlalu banyak penderitaan dan rasa sakit yang kualami.

Kakiku terus melangkah tanpa arah dan tujuan. Hingga langit yang tadinya cerah kini perlahan berubah kelam dan bernaung awan hitam, seolah langit pun tau apa yang kurasakan. 

Kuangkat wajahku, menengadah ke langit dan bertanya pada sang Pencipta. 

Apa salahku, Tuhan? Kenapa Kau begitu tidak adil padaku. Kenapa harus aku yang mengalami semua ini. Apakah aku tidak pantas untuk bahagia, sehingga yang Engkau berikan padaku hanya duka, luka dan lara.

Perlahan pandangan mataku pun mulai mengabur, hingga akhirnya semua berubah menjadi gelap dan aku tidak tau lagi apa yang terjadi setelah itu.

*

Saat aku terbangun aku sudah berada di sebuah kamar, yang aku tak tau siapa pemiliknya. Ku edarkan pandanganku menyapu seluruh ruangan itu, untuk mencari tas besarku. 

Hingga saat sebuah suara mengejutkanku, "Kau sudah siuman?" 

Aku pun mengangguk. Tanpa perlu bertanya, aku sudah bisa menebak jika dialah orang yang sudah menolongku.

"Apa kau mencari tasmu?" Aku pun mengangguk sebagai jawaban, "Memangnya kau mau pergi ke mana dengan tas sebesar itu, apalagi diluar sedang hujan."

Aku menggelengkan kepalaku, karena aku memang tidak memiliki tempat tujuan saat ini. Aku juga sudah tidak memiliki seperserpun uang.

"Kau cantik, apa kau mau pekerjaan?"

Aku menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan antusias dan sebuah senyuman, lalu aku menganggukkan kepalaku dengan pasti. Saat ini memang itulah yang aku butuhkan, pekerjaan.

"Kau bisa menjadi wanita malam di tempat karaoke milikku ini." 

Aku terkejut bukan main mendengarnya. Tak pernah sekalipun terlintas dalam benakku untuk melakoni pekerjaan yang sering dipandang hina itu. 

Aku tak ingin menjual tubuhku demi uang. 

Tidak! Tidak akan pernah.

"Kau tidak harus menjajakan tubuhmu. Di sini ada juga pemandu karaoke yang tidak menerima jasa plus-plus, dan hanya bernyanyi juga menemani tamu untuk minum."

Sebenarnya aku tidak mau menerimanya, tapi aku harus bertahan hidup di tengah kejamnya dunia. Sehingga aku terpaksa menganggukkan kepala sebagai jawaban. 

Dan sejak saat itulah aku resmi menjadi seorang pemandu karaoke, atau yang biasa mereka sebut dengan LC. 

Aku dilatih dan dibimbing oleh Mami, agar aku bisa menjadi seorang LC yang pandai memikat para tamu. 

Beruntungnya aku memiliki kualitas suara yang terbilang luar biasa, sehingga mudah bagiku untuk mendapatkan uang dari pekerjaan ini.

*

Sejak hari itu, terhitung sudah dua bulan lebih aku bekerja di tempat ini. Dan malam ini masih sama seperti malam-malam sebelumnya. 

Aku mematut diriku di depan cermin, memastikan dress mini milikku yang ketat, sudah terpasang dengan sempurna. 

Tak lupa juga aku memastikan apakah ada yang kurang dengan riasan wajahku, karena itu akan berpengaruh pada pendapatanku malam ini.

Di tempat ini, para tamu akan memilih kami dari dinding kaca yang terhubung dengan ruangan khusus para LC. 

Dan nantinya Mami Viandra atau yang akrab kami paggil mami Via itu, akan memanggil kami dan mengatakan ruangan mana yang memesan kami.

"Happy, room 15 ya." Aku mengangguk, kemudian berdiri dari tempat dudukku.

Kupakai sepatu hak tinggi milkku, kemudian menyemprotkan parfum khas para LC yang aromanya terbilang tahan lama. 

Setelah semua persiapanku selesai, segera ku langkahkan kakiku menuju room yang dikatakan mami Via tadi.

Ruangan dengan lampu yang temaram, bau alkohol yang begitu menusuk hidung, juga alunan musik yang begitu keras. Semua itu sudah menjadi hal biasa bagiku.

Kuhampiri pria yang menyewaku dan menjabat tangannya. Kunyalakan sebatang rokok untuk kunikmati. 

Tak lupa juga kutuangkan minuman haram itu ke dalam dua buah sloki, lalu kuberikan satu untuknya.

"Siapa namamu?" Pria paruh baya itu bertanya padaku sembari menyelipkan anak rambutku yang nakal dan menutupi wajahku.

"Happy." Aku tersenyum. Meski jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin sekali menangis. Sungguh nama yang tak sesuai dengan realita.

Dua jam yang melelahkan pun, akhirnya berlalu. Aku sedikit senang, karena tamuku hari ini sangat baik. Dia memberiku banyak uang tips, dan juga tidak melakukan hal buruk padaku saat mabuk, seperti yang biasa terjadi.

Di ruang tunggu, aku menatap layar ponselku yang tengah bergetar dan menampilkan nama yang membuat mataku membola, "Ayah?"