Siang itu, seperti biasa aku berada di kelas menunggu waktu istirahat. Saat bel berbunyi, aku dan temanku bergegas merapikan buku dan pulpen yang berserakan di atas meja dan bergegas pergi ke kantin.
Kelasku berada di bagian belakang sekolah. Karena letak kelas ku yang terpencil itu, bisa dibilang hanya anak kelasku saja yang lewat biasa lewat situ. Sebenarnya ada dua kelas lain yang berada satuderet dengan kelasku, tapi kelasku lah yang berada paling pokok dekat dengan ruangan kosong yang entah digunakan untuk apa.
Kelasku setengah lantai lebih tinggi dari lorong utama. Untuk sampai ke kantin, kami harus berjalan menuruni anak tangga yang terubuat dari batu yang di setiap sisinya sudah ditumbuhi oleh rumput dan lumut. Memang anak tangganya tidak terlalu banyak, tapi dengan kondisi yang seperti itu tentu saja kita harus berhati-hati karena bisa saja jatuh terpeleset.
Aku dan temanku berjalan menuruni anak tangga dengan perlahan. Setelah menuruni anak tangga, kami kemudian memasuki area lorong sebelah laboratorium sains.
Jendela kaca besar setinggi pinggang terpasang di sepanjang tembok ruang laboratorium yang memungkinkan kami dapat melihat ruangan tersebut dengan jelas.
Aku berjalan seperti biasa. Tidak ada rasa takut sama sekali karena aku selalu melewati jalan yang sama setiap hari. Namun, hari itu sesuatu yang aneh terjadi. Saat sedang berjalan menyusuri lorong itu, aku tidak sengaja melihat ke arah jendela ruang laboratorium yang ada di sebelah kiri ku.
Ruangan itu gelap. Hanya ada sedikit cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Tidak ada yang aneh dengan ruangan itu. Hanya ruang kosong dengan beberapa meja panjang dan pajangan pajangan aneh khas laboratorium sains.
Dengan pandangan yang terus menatap ke dalam ruangan. Pandanganku terhenti pada salah satu jendela di hadapanku. Saat itu pula aku menyadari ada satu sosok perempuan, bermata sipit dan telinga runcing sedang tersenyum lebar sambil memangku wajahnya menggunakan tangan tepat di depan wajahku.
Matanya sangat tipis nyaris segaris. Hidungnya rata bahkan hanya ada dua lubang hidung. Aku tidak bisa melihat rambutnya.
Telinga dengan ujung lancip seperti peri dalam cerita dongeng.
Senyumnya sangat lebar hingga ujung bibirnya hampir menyentuh telinga dan lewat senyum lebar itu, aku dapat melihat deretan gigi-gigi runcing yang sangat tajam.
Hanya sepersekian detik setelah melihat sosoknya, aku memalingkan wajahku ke arah temanku disisi lain lorong karena temanku memanggilku. Sadar tentang apa yang baru saja aku lihat di dalam labolatorium, aku pun kembali menghadapkan wajahku ke arah laboratorium. Anehnya, aku tidak melihat apapun. Laboratorium itu kosong seperti biasa.
Aku lantas berpikir itu hanya halusinasi. Aku pasti sangat lelah sampai behalusinasi seperti itu. Pikirku dalam hati. Aku pun berlalu begitu saja dan melanjutkan perjalanan ku ke kantin.
Beberapa hari berlalu. Aku mulai melupakan kejadian itu. Sama sekali tidak ada rasa takut.
Aku pergi ke sekolah seperti biasa.
Sampai, suatu hari saat jam pelajaran biologi. Guru biologi yang saat itu sedang mengajar, tiba-tiba mulai bercerita mengenai pengalaman horornya.
"Bukannya belajar, kok malah cerita." Ucapku. Tapi, sejujurnya aku lebih senang mendengar cerita dari pada harus belajar.
Awalnya aku biasa saja mendengar cerita guru itu. Hingga guru itu mulai menceritakan tentang sosok wanita dengan mata sipit, bertelinga runcing yang sering dilihatnya di laboratorium sains.
Ciri-ciri sosok yang dijelaskannya sangat identik dengan sosok yang juga aku lihat tersenyum di laboratorium saat itu. Mendengar itu aku pun mulai berpikir...
Jadi, apakah yang aku lihat waktu itu bukan halusinasi?
Tapi, kenapa dia menunjukkan wajahnya padaku?
Apa dia mencoba untuk mengingatkan kalau dia ada di sana mengawasi?