Aku dan Cinta

Aku dan Cinta

isytiqa

0

Hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas tidak terasa begitu menyenangkan, terlebih aku harus kembali beradaptasi dengan lingkungan kelas yang baru. Malas saja rasanya harus selalu mengenalkan diri setiap tahunnya. Ya, sekolahku menerapkan peraturan random kelas, tapi beruntungnya aku masih bisa bersama dengan beberapa teman dekatku.

“Senja, sini deh!” Rini salah seorang dari beberapa teman dekat yang aku sebutkan, menarik tanganku, membuatku berdiri di dekatnya.

“Apa-an?”

“Itu, liat deh anak baru dikelas kita,” Rini tak henti-hentinya meliuk-liukan badan, aku tau dia senang tapi risih juga melihat caranya ketika salah tingkah.

“Yang mana?” Aku ikut mengalihkan pandanganku mencari-cari anak baru dikelas 9-E ini.

“Itu tuh, yang ganteng!” Saat salah satu siswi menyingkir dari dari kerumunan, barulah aku melihatnya. Anak baru itu berdiri tepat ditengah, dikelilingi para siswi yang menyalaminya satu persatu. Seperti gula dikerubuti semut saja.

Tak sengaja mata kami bertemu, entah khayalanku saja atau ada yang tidak beres dengan penglihatanku, memang benar wajahnya terlihat begitu menyilaukan. Dia berjalan menghampiri kumpulanku. Menjulurkan tangannya mengajak kami bersalaman.

“Langit,”

Satu kata yang mewakilinya saat ini,

Tampan.

Aku tidak begitu ingat apakah memperkenalkan diri atau tidak, tapi karena aku menyambut uluran tangannya jadi mungkin saja aku sudah menyebutkan nama.

Remasan di lengan kanan atas menyadarkanku, Rini sedang melampiaskan kebahagaiannya dapat bersalaman dengan Langit, sementara Rini tersenyum aku hanya bisa meringis.

Baru satu hari kami sekelas, sudah banyak temanku yang mengaku menyukainya. Kenapa aku bisa tahu? Bagaimana tidak jika sepanjang jam istirahat para siswi dikelasku menghabiskan waktunya dengan membahas Langit. SKY Fanclub. Mereka bahkan sudah menamai fandomnya.

Hasil dari perkumpulan singkat dan dadakan itu aku mendapatkan cukup banyak informasi, yang jika di rangkum lebih kurang seperti ini:

1. Kelas asalnya adalah 7-E dan 8-G; 

2. Katanya Langit merupakan anak yang pandai; katanya sih, 

3. Ekstrakurikuler yang diikutinya Basket Ball Club ; yah, tidak mengherankan, karena di sekolahku eskul olahraga hanya cover untuk mereka yang disebut anak hits, kecuali sepakbola dan futsal sepertinya, 

4. Fakta terakhir dan merupakan fakta terpenting, katanya dia JOMBLO.

Teman-temanku tertawa kegirangan begitu tau bahwa katanya Langit ini jomblo, yang artinya cowo itu belum mempunyai seorang pacar. Serius, kalian harus mendengar bagaimana hebohnya kelasku ketika mereka berteriak kesenangan, pedahal baru katanya, kan?

Ah, sudahlah tidak perlu ikut-ikutan!

Bukannya aku merasa rendah diri atau apalah itu, meskipun tidak termasuk ketegori cantik, tapi wajahku juga tidak jelek, lagipula seperti aku menyukai Langit saja. Bagiku hal ini terlihat seperti sebuah permainan, dan aku sama sekali tidak berminat untuk ikut terlibat dalam permainan satu ini.

Permainan? Ya, permainan!

Permainan terakhir yang pernah aku saksikan terjadi semester lalu, permainan antara Ria dan Dea, awalnya mereka ini sahabat, tapi begitu terlibat dalam permainan keduanya menjadi jauh bak musuh. Semester lalu Ria masih menjabat sebagai pacar Ketua eksul bola voli, tapi pembaharuan yang kudengar pagi tadi katanya sekarang Ketua eskul itu berpacaran dengan Dea. Sungguh permainan yang ironis sekali.

Ah, sudahlah!

Omong-omong, ada satu hal yang baru kusadari, kalau cowo itu bukan murid baru kenapa aku baru melilhatnya saat ini? Apa mungkin karena aku terlalu fokus dengan makaroni kantin selama dua tahun ini, entahlah.

*

Jam menunjukkan pukul 15.30, sekolah memang sudah bubar dari awal siang tadi, selain karena kegiatan belajar mengajar belum begitu efektif, kegiatan eskul juga belum kembali aktif.

Tapi pantang bagiku pulang sebelum jam tiga, rasanya hampa saja, untuk apa diam dirumah jika bisa beraktifitas segala rupa di sekolah, seperti belajar, aktif eskul dan bermain misalnya.

Sayangnya tahun ini aku akan sering pulang sendiri, tidak ada lagi Kak Rahmi si kutu buku penunggu perpustakaan yang selalu pulang tepat jam empat. Katanya sekarang dia sudah jadi siswi SMA favorit yang jadi incarannya, jalur beasiswa pula, syukurlah.

“Sendirian aja?” Lamunanku buyar ketika mendengar suara teguran, sepertinya aku tidak asing dengan suara ini. Yup benar saja, ternyata dia Langit.

Aku mendongak sementara dia menunduk. Kami sama-sama berdiri, bangku halte sudah penuh oleh para siswa yang juga sedang menunggu bus datang. Ngomong-ngomong dia,

Tinggi sekali!

“Eh, eum, iya.” Aku kembali mengalihkan pandanganku ke depan.

Hey jantung, kenapa kamu mendadak jadi begini?

Meskipun usiaku baru akan genap lima belas tahun ini, tapi aku tau apa itu suka pada laki-laki.

Sudah dua tahun sejak aku menyukai tetanggaku, khayalan gilaku bahkan berpikir ingin menikah dengannya ketika sudah besar nanti.

Kini sepertinya aku juga menyukai Langit, tapi maksudku siapa gadis yang tidak menyukainya, dia terlalu tampan. Ya, tidak lebih. Kenapa, wajar bukan? Meskipun mungkin aku tidak cantik, tapi aku juga suka cowo ganteng.

Baiklah, aku akui bahwa aku menyukai ketampanan Langit, ya karena dia tampan, titik, tidak lebih. Mungkin seperti bertemu dengan artis ganteng, ya, benar seperti itu. 

Aku masih menunggu bus, dan Langit, dia masih setia diam di sampingku, bedanya kini kami tidak lagi berdiri, bus yang baru pergi barusan membawa hampir sebagian penduduk halte, menyisakan aku dan beberapa siswa lain yang masih menunggu bus jurusannya datang.

Aku dan Langit masih duduk diam, sedikit canggung karena kami tidak berbicara satu sama lain, menurutku tidak ada yang perlu dibicarakan. Selain itu aku juga termasuk tipe yang sulit akrab dengan orang baru, bisa dikatakan sedikit tertutup, lagipula basa-basi di awal tadi kurasa sudah cukup.

Entah kenapa momen menunggu bis kali ini terasa tidak nyaman, padahal biasanya hal ini menjadi favoritku, terlebih jika hujan rintik-rintik menemani, dan oh, apalagi menunggu dikala langit sore menampakkan sinar oranye miliknya, sungguh tiada dua.

Lucunya, kali ini aku juga sedang ditemani Langit, hanya saja bukannya memancarkan sinar oranye, Langit yang ini justru sedang mengenakan headset yang terhubung dengan alat pemutar musik miliknya. Andai saja tadi siang aku belum mengembalikan novel yang ku pinjam, dengan senang hati aku akan membacanya.

Sepertinya pertanyaanku terjawab, pantas saja aku merasa tidak nyaman, setelah diperhatikan ternyata semua mata di halte ini terarah padaku. Bukannya aku terlalu percaya diri, sebelumnya bahkan tidak pernah ada sepasang mata yang melirik penasaran padaku, tidak ada yang pernah memperhatikanku seperti ini, rasanya sungguh aneh, aku tidak terbiasa.

Akhirnya, penyelamat datang. Aku langsung berdiri saat bus tujuanku terlihat mendekat, begitupun dengan Langit. 

Bus berhenti tepat di depan, sedetik kemudian aku sudah duduk ditempat favoritku, kursi samping jendela. Tapi Langit tidak terlihat dalam bus ini, kemana cowo itu? Nah itu dia, Langit masih berdiri di halte, mengamatiku. 

“Kamu tidak naik?” Aku membuka kaca jendela agar Langit dapat mendengarku dengan jelas.

“Rumahku disekitar sini.” Dia tersenyum lalu melambaikan tangannya dan pergi sebelum bus mulai berjalan.

Jika rumahnya disekitar sini, lantas apa maksudnya dia duduk di halte menunggu bus datang?