Seorang pria paruh baya sedang sibuk dengan komputernya mengembangkan sebuah teknologi AI. Tidak lama ia menemukan apa yang ia teliti selama 8 tahun.
Komputer AI yang bisa diinstal pada otak. Tidak seperti ilmuwan lain yang mencari cara menanamkan chip ke dalam otak. Pria ini menemukan teori yang kuat untuk menginstal AI ke pada otaknya.
"Yahuu! Akhirnya setelah sekian lama aku mendapatkan caranya!" Seru pria paruh baya itu.
"Aku harus cepat mencoba teknologi ini! Sialan para petinggi munafik. Kalau mereka gak sok menjunjung moral aku pasti bisa cepat menguji teknologi ini ke manusia. Aku harus langsung menguji ini ke tubuhku daripada menunggu izin untuk menguji ke tubuh manusia yang ribet dan lama."
Tak lama pria itu memasang semua alat penginstalan ketubuhnya.
"Mulai menginstal!" Pria itu memberi perintah suara pada komputer untuk melakukan prosedur instalasi AI ke dalam otaknya.
Awalnya semua prosedur lancar dan aman.
"Sudah kuduga penelitian ini akan berakhir dengan aman dan sukses." Gumamnya.
"Bahaya! Bahaya! Output listrik yang diberikan pada otak melebihi jumlah yang bisa ditoleransi. Mencoba melakukan prosedur pembatalan." Peringatan dari suara komputer.
"Kabel rongsokan sialan!" Pria itu memaki sambil berusaha bergerak untuk lepas dari pengaruh alat cacat yang sekarang melumpuhkan badannya.
"Prosedur gagal dilakukan." Kalimat komputer ini adalah kata-kata terakhir yang ia dengar.
Ia pun meninggal karena otaknya terbakar.
***
"Setelah semua kekacauan tadi aku berhasil?"
Pria itu mencoba menggerakan tangannya dan mencoba bangun.
"Ugh. Kepalaku sakit sekali!" Gumamnya.
"Lapor! Rasa sakit pada kepala disebabkan trauma yang sangat fatal pada kepala." Suara misterius muncul menjawab gumamnya.
"Aku berhasil!? Haha. Akhirnya penelitianku berhasil!" Pria itu ingin berteriak sambil melompat-lompat tapi badannya terasa sangat lemas.
Ia pun kembali berbaring.
"Mungkin istirahat sebentar ga apa-apa."
Tapi tak lama setelah ia merasa tenang.
"Tunggu dulu kenapa suaraku tinggi sekali? A- a- lalala~." Ia mencoba mendengar suaranya sendiri.
"Hah! Kenapa suaraku jadi cewek? Terus kenapa aku di ruangan yang aku gak pernah lihat!?"
Tiba-tiba seorang maid masuk ke dalam kamar. Maid yang cantik, berambut pirang, bermata biru ini terlihat berseri-seri di mata pria itu seperti perempuan yang punya kepedulian dan pengertian.
"Nona Evi! Akhirnya nona bangun juga!" Ucap maid itu dengan mata berkaca-kaca.
"Siapa orang yang memakai baju maid dan imut ini? Lah Evi siapa?" Jawab pria itu.
"Lapor. Evi adalah sosok yang tubuhnya sedang anda gunakan." AI memberi informasi.
"Aku Evi? Aku jadi wanita? Deskripsikan aku dengan singkat." Evi bertanya dalam otaknya sendiri pada AI.
"Jawab. Anda adalah Evi Meria. Nona Baron yang cantik dengan sifat yang buruk. Evi senang berbuat onar, tidak tahu diri, sombong, dan bodoh. Meskipun ia lahir sebagai bangsawan rendah, ia mengabaikan statusnya dan tidak berusaha untuk menjadi lebih baik. Sebagai seorang wanita cantik, Nona Baron sering menarik perhatian banyak orang dan sering membuat kesalahan besar yang tidak bisa diampuni." Jawab AI.
"Gila parah juga pemilik tubuh ini. Tapi aku sekarang seorang nona bangsawan. Mungkin aku harus merubah gaya bicaraku sedikit. Ada yang lain? Mungkin penyebab kepalaku sakit?" Tanya Evi lagi.
"Jawab. Ketika ayahnya yang baik tidak mengabulkan permintaan Evi untuk membelikannya villa untuk dipamerkan kepada teman-temannya, ia putus asa dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Walaupun ayahnya mencintainya dan ingin membantunya, Nona Baron tidak mampu menerima keadaan hidupnya dan melihat kehidupannya sebagai bangsawan rendah sebagai sebuah kegagalan dan akhirnya bunuh diri dengan melompat dari jendela rumah." AI melanjutkan jawabannya.
"Jadi aku Evi? Lalu kau siapa?" Evi bertanya pada maid.
"Nona! Astaga nona hilang ingatan? Nama saya Eili." Maid itu terlihat semakin khawatir.
"Aku tak apa-apa, Eili. Dari pada itu ambilkan aku cermin." Evi memegang kepalanya yang pusing karena masih bingung dengan situasinya.
"Cermin itu apa, nona?" heran Eili.
"Kau tak tahu? Alat untuk melihat diri sendiri. Kita tak punya itu?" Evi terheran.
"Maksudnya kaca perunggu? Maaf nona tapi kita tidak punya alat mewah seperti itu." Wajah Eili terlihat khawatir dan sedikit takut.
"Kita tak punya?"
"Maafkan saya, nona! Saya akan berusaha lebih baik lagi!" Reaksi Eili membuat Evi merasa janggal tapi ia mengabaikan itu untuk sekarang.
"Kalau begitu ambilkan sebaskom air." Perintah Evi.
"Baik, nona." Eili segera mengambilnya.
***
"Maaf lama menunggu, nona." Eili memberikan sebaskom air pada Evi.
Evi melihat wujudnya sendiri di genangan air yang dibawa Eili.
Evi memiliki wajah yang mungil, kulit putih bersih dan berambut silver yang terlihat sangat indah. Rambutnya panjang dan terurai dengan anggun di bahunya, dan ketika terkena sinar matahari, rambutnya berkilau seperti permata.
Matanya berwarna pink. Indah dan terlihat seperti mawar yang sedang mekar. Tubuhnya ideal, dengan pinggang yang ramping dan perut yang rata, serta lengkungan yang indah di pinggul dan paha yang membuatnya terlihat seperti seorang putri dari dongeng. Tapi, kecantikannya hanya terlihat dari luar saja, di dalam dirinya iblis. Dunia memang adil.
"Memang cukup cantik. Mungkin bisa dibilang seleraku? AI bagus juga menilai penampilan orang. Tapi kepribadiannya gak kayak mukanya. Pasti ni orang gilanya kayak gorila sebelum aku masuk dalam tubuhnya." Evi berbicara sendiri.
"Kalau aku masih dipanggil nona harusnya aku masih punya orang tua kan? Mereka gak peduli apa aku udah bangun gini?" Evi berbicara dalam otaknya.
"Jawab. Berdasarkan ingatan otak Evi, ayahnya terlihat lemah dan pucat karena sakit yang menyerangnya. Ia tampak sangat lelah dan kurang bersemangat, tubuhnya terlihat melemah karena usia dan kelelahan kerja yang terus menerus. Wajahnya terlihat pucat dan mata yang dulu begitu tajam sekarang terlihat kusam dan lelah. Apalagi rasa lelah karena merasa stres karena mengurus wilayahnya yang miskin dan memiliki masalah yang kompleks. Tugasnya yang terus bertambah membuatnya selalu bekerja keras, sehingga ia kehilangan energi dan semangat."
"Kalau ibunya? Biasanya ibu itu orang pertama yang bakal datang kalau anaknya baru sembuhkan? Ngapain aja orang ini?"
"Jawab. Ibu Evi telah berjuang dengan keras melawan penyakit yang pernah mewabah, tetapi akhirnya takdir tidak memihak padanya. Ketika ia meninggal, seluruh keluarga dan rakyat merasa sangat kehilangan. Ia meninggalkan kenangan yang mendalam dan banyak orang yang merindukan kebaikan hatinya."
"Akhirnya ada kisah klasik yang mengharukan. Tunggu sebentar ada penyakit yang mewabah di wilayahku?" Evi menjadi waspada.
"Jawab. Beberapa tahun lalu memang ada. Tapi setelah dua tahun wabah itu menghilang."
"Fiuh. Syukurlah, kalau sampai ada wabah di dunia dengan peradaban yang masih pakai obor gini. Aku pasti bakal cepat mati."
"Kalau gitu gimana kalau saudara? Aku harusnya punya satu atau dua saudarakan?"
"Jawab. Anda tidak memiliki saudara sama sekali."
"Jadi aku anak tunggal ya." Entah kenapa Evi jadi sedikit kecewa dengan kemampuan ayahnya.
"Yah mau bagaimana lagi. Aku harus melihat sekitar dulu untuk mengetahui situasiku. Eili, temani aku berkeliling rumah."
"Baik, nona."
***
Tampilan yang kurang terawat dan mungkin juga terlihat tua. Ada cat yang terkelupas, jendela yang pecah. Jika memperhatikan pola lembab yang ada dilantai dan langit-langit rumah sepertinya ada atap yang bocor. Interior rumah mungkin minim perlengkapan dan terlihat tidak teratur. Hanya ada beberapa mebel tua, seperti kursi atau meja, dan barang-barang lain yang diletakkan di lantai.
"Ternyata tidak semua kehidupan bangsawan mewah. Kalau bangsawan saja seperti ini. Bagaimana kehidupan rakyatnya? Aku sudah selesai dengan rumah. Bawa aku ke sekitar rumah." Perintah Evi pada Eili.
"Tentu saja, nona" jawab Eili sambil tersenyum.
***
Tidak terlalu berbeda dengan rumah. Halaman rumah juga terlihat kurang terawat dan tidak rapi. Tanaman yang Evi lihat mungkin tidak dipotong dan terlihat liar. Rumput tumbuh tinggi, dan mungkin juga ada beberapa gulma yang tumbuh liar di sekitar halaman. Kebun juga tidak terawat.
"Kita masih menggunakan sumur?" tanya Evi.
"Iya, nona. Ini sudah sumber air yang terbaik yang bisa kita gunakan. Ini semua berkat nona yang sudah menyewa jasa ahli sumur dari ibu kota! Terima kasih karena nona sudah mengeluarkan begitu banyak uang untuk meringankan pekerjaan kami!"
"Iya. Tapi, banyak uang hanya untuk sumur?"
Meskipun Evi yakin kalau Evi yang dulu membuat sumur hanya untuk memamerkannya pada teman-temannya. Tapi keputusan yang ini tidak buruk juga.
"Iya. Nona sampai rela menghabiskan seratus koin emas untuk sumur yang sangat canggih ini!" jawab Eili bersemangat.
"Seratus koin emas kedengaran banyak. Ngomong-ngomong satu koin emas bisa beli apa?"
"Mungkin bisa beli sekitar enam kilogram beras." Jawab Eili tak yakin.
"Hm? Tunggu dulu. Kalau gitu aku bisa beli enam ratus kilogram untuk satu sumur dong! Kalau satu kilogram beras sama dengan lima belas ribu rupiah. Berarti si tolol Evi keluarin sepuluh juta rupiah cuma untuk satu sumur!" Teriak Evi dalam hati.
"Ada apa, nona?" Eili sedikit heran dengan Evi yang tiba-tiba terdiam.
"Tidak apa-apa. Boleh aku lihat tanganmu Eili?
"Iya, nona." Eili memperlihatkan tangannya sambil malu-malu.
Tangan Eili lumayan kasar dan ada bekas lecet. Ini pasti karena sering mengambil air dari sumur.
"Apakah berat mengambil air di sumur?"
"Tidak, nona. Ini jauh lebih mudah dari pada harus mengambil dari sungai."
"Tapi bagaimana kalau aku bisa membuat air ini naik tanpa harus menyakiti tangan?"
"Itu tidak mungkin." Jawab Eili ragu.
"Oh kau meremehkanku?"
"Tentu saja tidak, nona"
"Kalau begitu tunggu saja kehebatan dari peradaban maju! Kita akan membuat pompa air."
"Pompa air?"