Aku

Aku

cindy

5

Namaku...

Ah, sudahlah. Kalian tidak perlu tahu siapa namaku. Yang perlu kalian tahu di sini adalah ceritaku. Silakan menebak, berasumsi dan berkesimpulan sendiri akan maksud ceritaku di sini. Aku hanya ingin membagi ceritaku yang sudah lama ku pendam dalam hati ini. Ini adalah cerita tentang kebaikan, kejahatan, suka, dan duka yang mendalam. Oh iya, ada dendam juga di sini. Bantu aku untuk bisa menyembuhkan semua pergolakan batin yang sedang ku alami sekarang. Bagaimana caranya membantuku? Ya dengan kalian membaca cerita ini. Dengan kalian sudah membaca cerita ini dan bisa melihat akhir yang sesungguhnya, aku harap kalian berada di pihak yang sama denganku. 

Aku seorang wanita berumur empat puluhan. Aku lahir di sebuah kota kecil ber-inisial S, dengan keluarga yang sangat menyayangiku. Ayahku adalah seorang wiraswasta yang mempunyai usaha toko alat tulis di kota S tersebut, sedangkan ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang mempunyai usaha sampingan toko kelontong serba ada di sebelah rumah kami. Bisa juga disebut minimarket karena toko kelontong tersebut dilengkapi dengan pendingin ruangan, lantai keramik dan seorang kasir yang ditugaskan oleh ibuku untuk menjaga toko mulai dari sore hari hingga malam. Aku merupakan anak tunggal dari orang tuaku karena mereka menikah ketika umur mereka sudah mencapai 40. Hidup keluarga kami bisa dibilang cukup berkecukupan dengan hasil usaha kedua orang tuaku yang lumayan menguntungkan. Orang tuaku memanjakanku sejak kecil dengan pesta ulang tahun yang meriah setiap tahunnya, dan hadiah setiap kali aku naik kelas ataupun mendapat ranking. Kini kalian bisa mulai membayangkan bagaimana gambaran awal hidupku, belum?

Toko alat tulis ayahku sendiri cukup terkenal di kota S, karena merupakan satu-satunya toko yang menyediakan alat tulis untuk keperluan sekolah hingga kantor. Maklum, kota S merupakan kota kecil yang hanya dihuni sekitar 2000 penduduk. Namun, kota tersebut cukup lengkap dengan adanya toko alat tulis ayahku, minimarket ibuku, beberapa kedai restoran yang menjual makanan mulai dari ramen, sushi, hingga takoyaki. Butik pakaian, tas, hingga sepatu lokal juga menghiasi kotaku tersebut. Tak lupa ada sekolah Matahari Pagi yang merupakan satu-satunya institusi pendidikan mulai dari TK, SD, SMP hingga SMA di sini. Hampir setiap anak-anak penduduk kota S bersekolah di sini. Kalau tidak mau di sini, mereka harus pergi ke kota sebelah, yakni kota F yang berjarak 2 jam lamanya jika menggunakan kendaraan pribadi. Juga ada kantor polisi setempat dan beberapa kantor instansi pemerintah yang berdiam di kota ini. Kota kami terbilang sangat aman dan tenteram. Satu-satunya kasus besar yang pernah ditangani oleh kantor polisi di sini adalah pencurian di rumah keluarga Kobayashi. Ada pencuri yang masuk pada tengah malam dan mencuri bahan makanan di kulkas mereka. Tak sampai 2 jam setelah kasus tersebut dilaporkan oleh Endo Kobayashi, sang kepala keluarga, si pencuri sendiri menyerahkan diri. Si pencuri yang ternyata adalah seorang gelandangan, belum makan selama 3 hari, meminta maaf kepada keluarga Kobayashi dan dimaafkan. Kasus tersebut sendiri sudah terjadi 10 tahun yang lalu, dan kini sang pencuri sudah menjadi warga kota S, bekerja sebagai nelayan dan mengirim hasil tangkapannya untuk dijual ke kedai restoran di kota kami ini. Begitulah amannya kota S ini terlihat dari luar.

Rumahku berwarna putih dan terletak menghadap barat lautan biru yang membentang. Untuk menuju ke pinggir pantai, aku hanya perlu berjalan kaki selama 5 menit. Rumahku terdiri dari 2 lantai, lantai pertama digunakan sebagai ruang tamu, dapur dan kamar mandi tamu. Sedangkan untuk lantai kedua ada tiga kamar yang merupakan kamar orang tuaku, kamarku, dan satu kamar lagi yang dijadikan sebagai perpustakaan kecil untukku. Aku hobi membaca buku sejak masih berusia 5 tahun. Kala itu, ibuku membelikanku sebuah buku dengan cerita Winnie The Pooh dan teman-temannya. Aku langsung terpukau dengan setiap halaman yang dipenuhi gambar dan tulisan-tulisan yang membuatku ceria. Kamarku sendiri memiliki balkon yang menghadap ke laut. Setiap aku bangun pada pukul 5 pagi, aku akan memulai rutinitasku dengan membuka pintu balkon dan menghirup udara pagi serta menunggu matahari terbit. Rumahku juga memiliki pekarangan kecil yang dihiasi oleh tanaman milik ibuku. Ada tanaman cabai rawit, hingga stroberi yang selalu panen dengan manisnya setiap tahun. Ada pagar kecil berwarna putih senada dengan cat rumahku sebagai pembatas masuk ke dalam rumah. Apa kau bisa membayangkannya sekarang?

Aku sendiri memiliki usaha toko roti di sini. Toko ini sendiri baru kubangun setahun belakangan setelah aku kembali pulang dari kota sebelah. Toko yang kubangun dengan modal dari ayahku, yang melihatku memiliki bakat di dunia kue dan roti. Selain membaca buku, aku juga hobi berkreasi di dapur di kala waktu luangku. Ayah dan ibuku selalu menjadi orang pertama yang mencicipi hasil makananku. Aku ingat roti yang pertama kali ku buat adalah roti goreng cokelat. Sejujurnya aku kurang suka dengan rasa cokelat dalam hidangan roti-rotian, tapi karna ayah dan ibuku tidak menyukai keju, terpaksa aku membuat dengan rasa cokelat. Tak kusangka, hasil roti goreng cokelatku itulah yang membuatku berhasil mendirikan toko roti ini. Ibuku memberikan sebagian rotiku kepada para tetangga dan pelanggan minimarketnya. Semua memberikan pujian dan menanyakan apakah aku menjualnya atau tidak. Disitulah aku mulai belajar untuk membuat kreasi yang lain dan mengembangkan usaha toko roti ini. Toko roti ini aku beri nama Maison Bakery. Aku juga memberikan sentuhan Perancis di setiap ornamen dan wallpaper tokoku. Kebanyakan pelangganku adalah orang yang merupakan pelanggan minimarket ibuku. Namun, tak jarang ada pelanggan yang berasal dari luar kota S dan mampir karena iklan dari media sosial yang diiklankan oleh para siswi-siswi Matahari Pagi ketika mereka sedang nongkrong di tokoku. Tentu kau sekarang membayangkanku sebagai sosok wanita yang bahagia, bukan?

Mari kita mulai ceritaku yang sesungguhnya.