Angin kering menyapu hamparan gurun, menggulung bulir-bulir pasir yang beterbangan di udara. Di kejauhan, rumput-rumput kuning yang nyaris mati bergulung seperti bola kecil di antara debu dan terik. Dari langit, seekor elang melayang tinggi, mengamati sekelompok manusia kecil yang berjalan di kota mati. Bangunan lumpur rapuh berdiri membisu, seolah menyembunyikan sejarah yang tak ingin diungkap.
Di dalam tandu beratap bundar yang terbuat dari kayu mahal, seorang pria bergelar Tuan duduk bersandar dengan angkuh. Di sampingnya, seorang wanita muda menempel manja, tangannya menelusuri dada pria itu seperti madu melekat pada sarangnya.
“Tuan... saya ingin jadi satu-satunya. Kenapa Anda belum menceraikan Nyonya Senna?”
suaranya lembut, nyaris seperti bisikan di tengah badai yang belum datang.
“Bersabarlah, Mayra. Setelah urusanku selesai, semuanya akan kuakhiri.”
“Kau selalu bilang begitu,” balas Mayra sambil tersenyum getir. “Kau pasti ingat janjimu, kan?”
“Aku lelaki yang menepati kata-katanya. Apapun akan kuberikan padamu.”
Namun janji tak selalu sampai pada takdir.
Tiba-tiba, tandu itu berhenti mendadak. Para pelayan menurunkannya dari bahu, napas mereka berat, keringat bercucuran.
Ketua Pengawal mendekat, mengetuk sisi tandu sebelum membuka tirai dengan sikap hormat.
“Maaf, Tuan. Kami harus berhenti. Dua unta mengalami luka serius.”
“Lama?” tanya sang Tuan, alisnya naik sedikit.
“Kami akan berusaha secepat mungkin... Tapi kami tak bisa menjamin.”
Di luar, para pelayan sibuk memindahkan perbekalan dari punggung unta ke teras bangunan lumpur. Angin yang tadinya lembut berubah menjadi liar, membawa debu pekat yang membutakan pandangan. Seorang pelayan terpeleset, gandum yang dibawanya tumpah di pasir.
“Kau tak apa?” tanya seorang pengawal sambil membantunya berdiri.
“Sedikit oleng saja... anginnya makin kencang.”
“Tidak biasa. Kurasa tempat ini... menyembunyikan sesuatu,” gumam pengawal itu dengan kening mengernyit.
Langit perlahan menggelap. Badai pasir membentuk pusaran yang menelan matahari. Suara gemuruh tak berarah menggema.
“Aaaa! Tuannn!!”
teriak seorang wanita dengan wajah pucat pasi.
Ketika para pengawal menerobos badai menuju tandu, mereka menemukan horor.
Atap tandu terbelah dua, tirai sobek melayang, dan si Tuan... sudah tak bernyawa. Kepalanya lenyap dari tubuh. Darah muncrat deras dari leher buntung, mengalir membasahi lantai kayu.
Mayra terdiam, mulutnya membuka.
“Kepala... kepala... ke–pa...”
Tubuhnya limbung dan jatuh pingsan.
“Nyonya Mayra pingsan!” seru salah satu pengawal, meraba nadinya.
Ketua Pengawal berdiri terpaku. Matanya berkilat, rahangnya mengeras.
“Brengsek! Pembunuh macam apa yang berani melakukan ini!?”
Ia menunjuk ke arah seorang prajurit.
“Kau! Naiki kudaku! Kembali ke Altair! Laporkan pada Yang Mulia—ini penghinaan!”
“Siap, Ketua!”
Saat pengawal itu menunggangi kuda dan menjauh, badai seolah berhenti. Matahari kembali menembus pasir. Hening menyelimuti mereka yang masih syok.
Namun di seberang sana, di atap bangunan yang tertimbun pasir, berdiri sosok bersyal merah. Ia memegang kepala berdarah di tangan kirinya. Di tangan kanan, sebilah pedang masih meneteskan cairan segar. Kakinya menapak ringan, tubuhnya diselimuti kain dan turban, menyembunyikan wajahnya di balik masker.
“Koleksi yang menarik. Terima kasih atas kepala Anda, Tuan,”
katanya ringan, seolah baru selesai berburu.
Ia tersenyum di balik kain, lalu menghilang. Ditiup angin, terseperti bayangan yang tak pernah ada.
Bersambung...
Saya senang sekali bisa menulis karya di sini. Salam kenal pada pembaca baru yang baru pertama membaca novel ini. Saya harap kalian terhibur dan berkenan untuk menekan suka pada novel pertama saya di cabaca.
Stay tune, dan jangan lupa minum air~
With love dan plot twist,
DeanyNa