Adik sudah mati.
Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Rambut hitamnya basah oleh darah karena kepalanya tertusuk paku saat jatuh dari ayunan. Mata melototnya seperti berteriak namun tanpa suara. Meski begitu, kalau saja ada orang selain aku yang melihat saat-saat terakhirnya, ia pasti akan berpikiran sama. Dari matanya yang terbuka saat darah segar mengalir dari kepala akan terlihat ada suara teriakan di sana.
Adik sudah mati. Aku benar-benar melihatnya.
Aku masih bisa merasakan kengerian yang menghantam tubuhku saat melihat dirinya terbaring di tanah. Ketakutan itu dengan keras menghantam tubuhku hingga aku tidak mampu bersuara. Satu-satunya yang bisa kulakukan saat itu hanyalah jatuh ke tanah lalu semuanya menjadi gelap. Segelap rambut hitam adik yang basah oleh darah.
Adik sudah mati. Ia dimakamkan hari ini.
Mama berteriak, menangis dan meronta ketika badan adik dimasukkan ke dalam lubang. Memukul-mukul papa lalu terduduk menangis hingga dibawa pergi sebelum tanah menutup seluruh badan dan lubang tempat Adik dikubur.
Adikku sudah mati. Mati yang mengenaskan. Aku melihatnya sendiri.
***
“Ma, Papa sedang dinas ke luar kota,” kataku ketika mama meminta menata tiga piring di meja makan. Hanya ada kami berdua di rumah, aku dan mama. Mungkin mama lupa.
“Iya, makanya ada tiga orang kan?”
Ada yang aneh dengan mama, seminggu setelah pemakaman Lani—adikku—mama tiba-tiba bangun di pagi hari dan tersenyum. Tidak seperti tujuh hari setelah kematian Lani yang ia habiskan dengan menangis setiap saat, hari itu mama tiba-tiba ceria kembali.
“Papa sedang di luar kota.”
Mama akhir-akhir ini membuatku takut. Wanita itu lebih banyak diam, namun kadang tertawa tanpa ada alasan apa pun. Tapi tidak pernah menangis. Sehari-hari ia habiskan untuk duduk di belakang rumah sambil melihat ayunan yang merenggut nyawa adik, atau kalau tidak mengurung diri di kamar. Tidak pernah menyiapkan makanan seperti yang ia lakukan sekarang.
“Adikmu pulang,” katanya tanpa membalikkan badan ke arahku. Sibuk dengan semur ayam kesukaan Lani saat masih hidup.
“Ma…” Aku tidak suka Mama yang begini, mama yang tidak kukenali seperti sekarang. Rasanya aneh sekaligus menakutkan. “Lani sudah mati,” kataku agak ragu, takut kalau-kalau mama memang lupa.
Mama tidak menjawab. Wanita itu tidak menjawab untuk waktu yang cukup lama. Cukup lama untuk membuatku bingung harus apa dan kemudian memutuskan untuk menata tiga piring di atas meja makan seperti permintaannya.
“Sudah empat puluh hari. Lani pulang hari ini.” Kali ini tidak ada senyum di wajahnya. Wanita itu dengan tenang meletakkan semur ayam di atas meja dan mulai menata gelas.
Pada akhirnya kami makan berdua, bertiga dengan piring yang katanya untuk Lani.
***
Aku sedang duduk berdua di meja makan dengan mama ketika tiba-tiba angin kencang berembus dan membuat pintu depan terbuka sendiri. Setidaknya itu yang ingin aku percaya—pintu depan terbuka dikarenakan tiupan angin kencang. Setelah pintu depan terbuka, udara dingin yang tidak wajar ikut merangsek masuk dan tahu-tahu sudah mengepung ruang makan dengan dingin yang tidak wajar.
Menggigil dan merinding. Dadaku rasanya sesak, seakan sesuatu yang tidak terlihat memenuhi ruangan dan membuat ruangan terasa sesak. Namun mama tidak mengatakan apa pun tentang hal itu, malah tersenyum tipis sambil mengambil nasi dan meletakkannya di atas piring Lani juga piringku.
Mama tidak bicara apa pun. Setelah itu ia hanya memandangi kursi yang biasanya digunakan Lani tanpa melihat ke arahku.
Sikap diam mama menciptakan keheningan yang mencekam. Dengan suara latar ketukan ranting pohon di jendela membuat makan malam ini adalah makan malam paling buruk seumur hidupku.
Kenapa aku tidak pergi dari meja makan? Ada ketakutan lain yang seakan memaksaku untuk duduk diam. Seperti memaksaku untuk pura-pura bahwa semuanya normal karena jika aku membiarkan diriku dikendalikan oleh ketakutan, ketakutan itu akan menguasaiku sepenuhnya. Prasangka buruk dalam otakku bisa jadi kenyataan.
“Ma.” Mama menoleh ke arahku sebentar sekali lalu menyuruhku diam dengan isyarat tangannya. Kemudian ia kembali memerhatikan kursi kosong seakan ada makhluk lain di sana, sosok yang hanya bisa mama lihat.
Seketika ketakutan yang dari tadi memenuhi ruangan kini masuk ke dalam tubuhku, mengambil ruang dalam perut hingga membuatku ingin muntah. Benar, bukan hanya kami berdua di ruangan itu. Ada sosok lain yang dari tadi dipandangi mama. Sosok yang kini menggerakkan sendok dan garpu.
“Ma…” Aku tidak bisa mencegah air mataku untuk tidak turun. Ketakutan itu juga membuat setiap sendi badanku lemas. “Aku sudah selesai makan.”
Mama melihatku, namun caranya melihat malah membuatku sulit untuk bernapas. Mama tidak pernah menatapku seperti itu, tatapannya dingin hingga terasa mengalirkan es ke dalam diriku. Seluruh badanku gemetaran hebat, aku tidak sanggup berteriak.
Namun wanita itu hanya melihatku sebentar lalu mengangguk pelan sekali sebelum kembali memerhatikan kursi yang kini bergeser sendiri.
“Lani mau ikut kamu ke atas.”
Kalimat Mama membuat badanku nyaris ambruk ke lantai. Kursi yang dari tadi diduduki sosok itu ikut bergeser.
***
Badanku rasanya bisa jatuh kapan saja saat berlari. Setiap sendiku lemas namun ketakutan memaksa kakiku untuk terus bergerak meski dengan sempoyongan. Meski tidak terlihat, aku yakin sekali sosok itu mengikutiku.
Begitu masuk kamar, aku membanting pintu. Menguncinya dan langsung bersembunyi di bawah selimut. Tubuhku rasanya panas sekali meski udara di sekitarnya terasa dingin dengan tidak wajar. Apa yang terjadi barusan? Kenapa mama tidak menganggap hal ini aneh? Makan bertiga? Aku yakin dia juga sadar bahwa Lani sudah mati.
Pintu kamarku diketuk perlahan sebanyak beberapa kali. Jantungku mau copot rasanya. Setelah itu untuk beberapa saat ketukan di pintu kamar berhenti. Meski masih dicengkeram ketakutan, setidaknya aku sudah bisa bernapas. Sosok yang lain masih di luar kamar. Namun setelah jeda yang cukup singkat pintu kamarku kemudian dipukul dengan keras hingga jendela kamar ikut bergetar.
“Siapa?”
Tidak ada jawaban. Pintu masih dipukul dengan keras dan semakin keras. Aku takut pintu itu ambruk. Namun lebih takut sosok dibalik pintu itu masuk.
Oh Tuhan! Pintu itu terbuka sendiri. Namun tidak ada siapapun di baliknya. Hanya ada kekosongan yang malah membuatnya terlihat lebih mengerikan. Aku tidak lagi bisa merasakan diriku sendiri, ketakutan sudah mengambil alih indera dalam diriku.
“Aku nggak salah. Jangan ganggu aku.”
Barang-barang mulai berjatuhan berurutan dari yang terdekat dengan pintu dan perlahan bergerak mendekatiku. Seakan makhluk tak kasat mata itu mencoba membuktikan keberadaannya. Juga mencoba menerorku dengan memperlihatkan kuasa dan kekuatannya.
Sial! Kasur tempatku duduk bergerak dan perlahan terangkat. Lalu untuk pertama kalinya aku dapat melihat sosok itu. Sosok itu terlalu jahat kalau untuk menjadi Lani. Sosok hitam besar yang lebih hitam dari kegelapan. Perlahan mendekatiku dengan kebencian di dalam matanya.
Tuhan.
Ia mendekatiku dengan badan terseret. Aku tidak sanggup bernapas lagi. Matanya yang penuh kebencian melumpuhkan apa pun dalam diriku. Ketakutan membuat badanku tidak berdaya. Hingga semuanya gelap begitu saja.
***
Aku tersadar dan menemukan diriku ada di atas ayunan dalam kondisi terikat. Setelah rasa takut yang terlalu hebat, aku sudah mati rasa dan tidak bisa merasa lebih takut lagi. Logika dalam otakku bahkan tidak menuntut untuk tahu apa yang terjadi.
Awalnya aku merasa tidak terlalu buruk karena meski aku masih tidak mengerti mengapa bisa ada di sana, mengapa aku tahu-tahu bisa duduk di atas ayunan di mana Lani mati, tapi setidaknya sosok menakutkan itu tidak ada. Sayangnya, ayunan itu tiba-tiba bergerak sendiri. Mengayunku dengan tinggi sekali, membuatku sekali lagi merasa mual dan mengingatkanku dengan kengerian yang terjadi.
“Mama!”
Demi Tuhan! Apa lagi yang terjadi? Ayunan itu berayun lebih tinggi, tinggi sekali hampir memutar. Kalau saja tubuhku sedang tidak terikat, tanganku yang lemas tidak akan mampu menahan tubuhku untuk tidak jatuh. Kalau saja tubuhku tidak terikat, aku akan mati seperti Lani. Kalau saja saat itu aku tidak mengayunkan ayunan terlalu kencang untuk membuat Lani menangis, dia tidak mungkin mati.
“Mama!” Aku dapat menangkap sosok mama berdiri di teras belakang melihat ke arahku tanpa ekspresi beberapa saat sesudah semua isi perutku keluar akibat ayunan ini. Namun wanita itu tidak bergerak. Tidak mencoba menolongku atau setidaknya merasa kasihan.
“Alin.”
Suaranya terdengar samar-sama. Ayunan itu mengayun tinggi sekali. Sekali lagi aku memuntahkan sisa-sisa makanan yang masih ada dalam tubuhku. Muntahan itu terbang di udara dan menampar wajahku.
“Temani adikmu ya. Temani Lani.”
Sosok mama menghilang begitu mengucapkan kata-kata yang tidak jelas. Begitu aku mencoba untuk mencari sosoknya lagi, bukan mama yang ada di sana, melainkan sosok hitam yang kemudian menyeringai.
Aku tidak membenci Lani meski tiap detik aku selalu bilang tidak menyukainya. Memiliki adik di saat remaja membuatku tidak terbiasa. Mama dan papa memarahiku terus menerus. Jadi mengerjai Lani kadang aku jadikan pelarian. Melihatnya menangis membuatku merasa menang setelah kalah dalam mendapatkan perhatian.
Aku tidak membenci Lani meski aku tidak nyaman karena dia selalu mengikutiku. Di saat aku sibuk dan tidak ingin kehidupanku terganggu, dia muncul dan selalu mengganggu. Namun aku bersumpah tidak membencinya, tidak berharap sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku juga bersedih dengan kematiannya dan mengutuki diri sendiri karena akulah alasannya meninggal.
Namun ayunan itu bergerak lebih tinggi. Ikatanku pada ayunan mulai melonggar. Dan ketika ayunan itu tidak juga berhenti, ikatan itu tiba-tiba terlepas. Membuat badanku terlempar dan menabrak dinding rumah.
Mungkin ini yang Lani rasakan. Aku mati dengan mengenaskan.
***