Bolehkah mengajukan surat pengunduran diri meski baru dua minggu bekerja?
Google tidak memberi jawaban yang kuharapkan. Sepertinya hanya aku orang yang cukup gila untuk melakukan hal semacam itu. Atau mungkin ada orang lain yang sudah melakukannya, tetapi tidak membagikan testimoni di internet. Entahlah. Terlalu banyak kemungkinan dalam hidup ini.
Sambil mengembuskan napas panjang, aku meletakkan ponsel di meja. Tentu saja, aku mengetik pertanyaan gila tadi di mesin pencari ponsel, tidak menggunakan laptop yang bertengger manis di hadapanku. Kalau sial, aku bisa dipergoki teman kantor dan situasi akan runyam.
“Al, ditagih caption tuh di grup. Cek WA gih,” ucap Safa yang menempati kursi di sisiku. Tangannya tetap sibuk menggerakkan pen di atas tablet, membuat materi visual untuk media sosial.
“Caption apa?” Meski bertanya demikian, aku sudah meraih ponsel dan membuka grup kantor yang kumatikan notifikasinya. Oh, ternyata admin media sosial lupa bahwa takarir untuk unggahan Instagram hari ini sudah ku-update di Google Spreadsheet. Kantor ini memang cukup berantakan meski sudah tiga tahun berdiri dan para karyawannya tidak terbiasa menggunakan Google Drive. Segala data dikirim berupa lampiran dan harus diunduh satu per satu dari surel. Merepotkan.
Tiga bulan lalu, aku mengundurkan diri dari sebuah startup yang menaungiku selama dua tahun. Alasan utamanya karena tidak ada kenaikan gaji. Awalnya, gaji yang menyerempet UMR itu tidak kupermasalahkan, toh aku senang bekerja di sana. Bos asyik, rekan kerja solid, dan waktu kerja dibebaskan asal pekerjaan selesai. Namun, usiaku akan mencapai 28 tahun ini. Sudah saatnya memikirkan masa depan dan serius mengejar target. Meski itu berarti meninggalkan kenyamanan.
Setelah menganggur cukup lama, aku mendapat panggilan wawancara sekaligus penawaran menggiurkan dari startup lain. Tidak hanya gaji yang dua kali lipat lebih besar, aku pun mendapat fasilitas berupa asuransi, laptop, makan siang, hingga uang transport taksi jika pulang terlalu malam. Orang bodoh mana yang akan melewatkannya? Yah, aku bukan orang bodoh, jadi tidak melewatkannya. Sayangnya, pilihan itu ternyata salah karena setelah dua minggu bekerja di kantor ini, hasrat resign-ku timbul kembali.
Satu minggu pertama kupikir hanya persoalan adaptasi, tetapi semakin lama aku sadar bahwa manajemen berantakan dalam kantor ini membuatku frustrasi. Belum lagi pekerjaan rangkap yang harus kulakukan. Pantas saja gajinya besar. Di perusahaan sebelumnya, apa yang kukerjakan di kantor ini seharusnya dilakukan oleh empat orang.
Jabatannya saja yang keren, pekerjaannya tetap seperti rodi.
“Saf, PM lama kenapa resign?” tanyaku setelah melampirkan tautan spreadsheet untuk admin media sosial di grup. “Dia resign dua bulan sebelum gue masuk, kan?”
Safa mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. “Katanya mau fokus ngurus anak. Memang masih kecil sih anaknya, batita gitu.”
Alasan yang lumrah dan mudah dipahami banyak orang. Namun, aku tidak memiliki alasan itu untuk mengajukan resign. Selain butuh uang, aku pun tidak punya suami apalagi anak untuk dijadikan tameng. Seandainya aku lebih berhati-hati ketika memutuskan kemarin, mungkin aku tidak akan terbelit kerumitan ini.
Meski jika dipikir-pikir, aku yang membuat rumit diri sendiri. Ya, aku tahu masalah pekerjaan menumpuk dan tim tidak seru seharusnya bisa kuatasi. Ini pekerjaan, bukan taman bermain. Sudah sepatutnya proses mencari nafkah menjemukan seperti ini.
Ponselku bergetar menandakan pesan masuk. Ternyata Tiani, sepupuku yang sukses menjadi pebisnis. Sama sepertiku, Tiani memutuskan resign dari bank tempatnya bekerja menjelang akhir usia 20 tahun. Namun, berbeda denganku yang tidak berani mengambil risiko tinggi, Tiani membuka usaha sendiri. Tak disangka, dalam waktu lima tahun bisnis daringnya melejit hingga Tiani membuka beberapa toko offline. Sepupuku itu menjual pakaian-pakaian perempuan, kebanyakan kasual dan sasarannya menengah ke bawah. Setengah isi lemariku sekarang bahkan barang-barang yang dijualnya. Bukan karena diberi cuma-cuma, tetapi karena aku benar-benar menyukainya.
Hartiani Mahendra: Nanti malam jadi nginap di tempat gue?
Alara Mahendra: Jadi. Pilih aja filmnya, gue nggak bakal sempat. Banyak kerjaan :(
Hartiani Mahendra: Banyak kerjaan atau sibuk cari alasan resign?
Terkadang, aku berpikir sepupuku seharusnya banting setir jadi peramal saja. Aku memang sempat mengeluh kepadanya minggu lalu perihal pekerjaan rangkap yang harus kulakukan, tetapi aku tidak menyangka dia bisa menebak sebegini tepat.
Alara Mahendra: Gue tau kesannya gue bodoh dan nggak bersyukur, tapi gue nggak tau bakal sebudak ini kerjaannya, Ti. Baru dua minggu rambut gue kayak bakal rontok semua nih. Nyesel banget sekarang asal terima offer cuma karena tergiur gaji.
Martiani Mahendra: Okay, let’s say you’re resign now. Dana darurat masih ada? Punya kerjaan baru? Kalau jawabannya gak semua, just suck it up. Lo udah ambil keputusan kemarin. Benar atau salah gak penting lagi. Sekarang yang penting itu jalanin. Lagian lo bakal mencoreng nama sendiri kalau baru dua minggu kerja udah cabut. Lo pikir para HRD gak punya koneksi?
Aku benci ketika Tiani menumpahkan kalimat-kalimat logis. Meski dalam kasus Tiani, 90% waktunya dihabiskan untuk berpikir logis. Mungkin hanya dia satu-satunya orang paling nggak baperan yang pernah kutemui. Sejak dulu, dia adalah kakak, sahabat, partner in crime, sekaligus konselor pribadiku. Meski tidak menyukai sarannya, aku tahu dia benar.
Setelah mengirim pesan balasan bahwa aku akan pulang ke apartemennya nanti malam, aku meletakkan ponsel dan berhenti meratapi nasib. Ada banyak pekerjaan menanti.