"Aku mencintaimu, Desi. Percayalah padaku."
"Aku juga mencintaimu, Steve."
Steve menatap Desi dengan penuh cinta sembari memeluknya erat. Desi menghirup dalam-dalam aroma tubuh Steve dan mulai terbuai dalam pelukan itu. Namun beberapa saat kemudian, ia merasakan pelukan itu perlahan-lahan merenggang. Desi mengangkat wajah dan menatap Steve dengan raut bingung.
"Steve, ada apa?" tanya Desi langsung.
Pria itu tidak menjawab, malah berbalik membelakanginya, lalu melangkah menjauh. Desi berusaha mengikuti dari belakang sembari mempercepat langkahnya. Sementara Steve, terus berjalan menuju suatu tempat tanpa menghiraukannya sedikit pun.
Makin lama, Steve terasa makin jauh dari gapaiannya. Desi memutuskan untuk berlari sambil terus memanggil nama pria itu, tetapi Steve tak menoleh sedikit pun. Air mata putus asa yang mulai membasahi pipi, terasa begitu panas dan perih.
Akhirnya, Steve berhenti di suatu tempat. Desi pun berhenti berlari tanpa melepaskan pandangannya dari punggung pria itu. Ia mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah selama beberapa saat, sambil berharap Steve menoleh dan menghampirinya. Berselang beberapa saat kemudian, Desi terbelalak menyaksikan kejadian yang membuat dunianya hancur.
Seorang wanita hadir di samping Steve. Pria itu segera menoleh, lalu membelai wajah si wanita dengan tatapan penuh cinta, begitu pun sebaliknya. Senyum manis dan hangat wanita itu tertuju pada Steve.
Dada Desi terasa begitu sesak dan perih saat melihat Steve melingkarkan pelukan mesra di pinggang wanita itu. Desi benar-benar tidak percaya. Steve, pria yang ia cintai sepenuh hati, memeluk mesra seorang wanita tepat di hadapannya.
"S-steve," panggil Desi, lirih. Akhirnya, Steve menoleh dan berbalik menatap Desi. Namun, tatapannya begitu datar dan kosong.
"Siapa dia, Steve?" tanya Desi pelan, cemburu dan kecewa. Suara yang bergetar menahan tangis dan air mata yang mulai menggenang, menunjukkan betapa sakit perasaannya saat ini. Steve, yang tidak menjawab pertanyaannya, malah memasang raut tidak peduli.
"Apa maksudnya ini, Steve?" desak Desi menuntut penjelasan.
Suaranya yang lemah pun berubah menjadi geraman. Bukannya menjawab, Steve malah menyunggingkan senyum tipis pada Desi. Wanita yang berada dalam pelukan pria itu pun terus melingkarkan tangan di pinggang Steve, berusaha menegaskan kepemilikannya.
"Aku tidak mencintaimu lagi, Desi!" jawab Steve, tegas.
Jawaban itu benar-benar menohok. Tanpa menunggu balasannya, Steve segera berbalik dan melangkah menjauh bersama wanita asing itu. Tangisan Desi pun meledak, sementara tatapannya tertuju pada dua sejoli yang perlahan-lahan menghilang dari pandangannya.
"STEVE!" teriak Desi, putus asa.
*****
Desi terbangun dari mimpi buruknya. Sudah tiga tahun berlalu semenjak kejadian itu, tetapi perasaan hancur, kecewa, dan sakit hati masih bersemayam di dadanya hingga saat ini. Steve, pria yang begitu Desi puja dan harapkan, meninggalkannya tepat sebulan sebelum pernikahan mereka dilangsungkan.
Keringat mulai membasahi dahi, dan jantungnya pun berdebar sangat cepat. Desi memejamkan mata sejenak sambil memeluk tubuh erat-erat. Air mata yang menetes menunjukkan betapa pengkhianatan Steve benar-benar melukai batinnya.
Butuh beberapa menit lamanya bagi Desi untuk menenangkan dan menguatkan dirinya kembali. Setelah mampu menekan rasa perih di dada, Desi menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan-lahan sambil mengusap air mata. Aku harus kuat! batin Desi tegas, menguatkan dirinya.
Tak lama kemudian, ia turun dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu kamar, lalu membukanya. Desi berdiri sejenak di ambang pintu, sementara matanya meneliti keseluruhan rumah yang gelap karena ia selalu mematikan lampu setiap kali beranjak tidur. Pandangannya tertuju pada ruang TV yang menyatu dengan ruang makan dan dapur. Terdapat satu sofa minimalis yang menghadap langsung ke rak TV sederhana yang menempel di dinding berwarna putih.
Sebuah partisi ruangan, yang berisi foto-foto dan beberapa hiasan keramik berukuran kecil, memisahkan ruang tamu dengan ruang TV. Di ruang tamu terdapat satu set sofa minimalis yang mengelilingi meja kopi berbentuk persegi panjang dengan sebuah vas kecil berisi bunga artifisial. Desi menyalakan lampu ruang TV, lalu melangkah menuju meja makan, kemudian duduk di kursinya. Embusan napas Desi terasa berat, seperti ada balok besar sedang menekan dadanya saat ini.
Bagaimana tidak? Rumah ini seharusnya menjadi rumah impinannya bersama Steve. Mereka menabung bersama-sama, hingga akhirnya sanggup membeli rumah ini. Namun, semua yang sudah mereka rencanakan, hancur seketika saat Steve memutuskan pergi bersama wanita selingkuhannya.
Orang tua Steve—yang sangat kecewa dengan kelakuan anaknya—bersikeras agar Desi memiliki rumah ini sebagai tanda permintaan maaf. Tentu saja Desi menolak, tetapi ibu Steve terus memohon. Akhirnya, Desi memutuskan untuk mengembalikan sejumlah uang yang pria itu keluarkan saat membeli rumah ini. Semenjak itu, Desi membiarkan rumah ini kosong dan tinggal di kediaman orang tuanya.
Satu tahun berlalu sejak kejadian itu, orang tuanya mulai gencar memperkenalkan Desi kepada beberapa pria. Desi menolak, karena ia belum bisa melupakan trauma akan hancurnya sebuah hubungan. Namun, sepertinya mereka tidak peduli, bahkan makin giat mencarikan pendamping untuknya.
Hampir setiap minggu, seorang pria asing datang ke rumah hanya untuk diperkenalkan kepadanya. Desi mengerti, orang tuanya khawatir dan berharap agar ia mau membuka hati serta melanjutkan hidup. Mereka bahkan terus meyakinkan Desi bahwa setelah menikah ia pasti bisa melupakan Steve dengan mudah.
Mereka salah! Luka ini terlalu dalam. Tak mudah baginya untuk bisa kembali percaya pada pria. Jangankan untuk membuka hati dan mencoba membangun sebuah hubungan romantis, berkenalan dengan pria saja ia takut. Akhirnya, Desi memutuskan untuk pindah dari rumah orang tuanya dan tinggal di rumah ini, sendirian.
Beberapa saat kemudian, Desi beranjak dari kursi dan berjalan menuju kabinet dapur. Ia mengambil gelas, mengisi dengan air putih, lalu meneguknya hingga tandas. Desi menatap pantulannya di jendela dapur selama sesaat, meratapi nasib dan usianya yang terus bertambah.
Tak ada yang tahu betapa hancur hatinya saat ini. Kepercayaannya pada pria pun bisa dikatakan sudah lenyap. Desi ingin lepas dari masa lalu itu, tetapi ia sendiri tidak yakin apakah dirinya mampu menghapus bayangan Steve dari pikirannya.
Langit masih gelap, tetapi matanya tidak lagi merasakan kantuk. Desi berbalik menuju sofa di ruang TV, lalu berbaring di sana. Dengan remote dalam genggaman, ia menyalakan TV dan mulai mencari tontonan yang menarik, tetapi tidak ada.
Helaan napas panjang disertai rasa hampa yang mendominasi perasaannya saat ini, membuat Desi memilih untuk mematikan TV. Ia pun mencoba memejamkan mata, berharap rasa kantuk itu kembali menghampiri. Namun, bayangan Steve dan masa lalunya yang menyakitkan, membuat pikiran Desi tidak bisa tenang. Akhirnya, ia membuka mata dan bangkit dari sofa. Ia memutuskan untuk menyibukkan pikiran dengan pekerjaan. Dengan perasaan lelah, ia membuka pintu ruang kerja yang berada tak jauh dari kamar tidurnya.
Setelah menyalakan lampu, Desi langsung menuju meja kerjanya. Desi duduk sejenak di kursi kerja sembari menunggu laptop yang baru saja ia nyalakan. Setelah tampilan layar menampilkan foto dirinya bersama kedua sahabatnya, Desi mulai membuka surel, dan pikirannya segera teralihkan.
Sebagai seorang wanita mandiri, Desi berhasil membangun event organizer bersama kedua sahabatnya, Maira dan Sasha. Usaha kecil ini sudah berjalan selama enam tahun, dan sekarang mereka memiliki beberapa klien ternama.
Di awal berdirinya usaha, mereka menyewa sebuah ruang kantor di pusat Kota Jakarta. Namun, setelah kejadian yang menyakitkan itu, kedua sahabatnya memutuskan untuk memindahkan kantor ke rumah ini. Selain untuk menghemat pengeluaran, mereka beranggapan bahwa hanya ini cara yang tepat untuk menjaga dan mengawasi dirinya. Hal yang menguntungkan bagi Desi, karena ia tidak perlu keluar rumah selain untuk berbelanja, jalan-jalan ke mal, dan mengunjungi orang tua.
Desi termasuk wanita ulet, sedikit cerewet, dan agak judes. Dirinya yang termasuk tipe romantis, membuat Desi mudah sekali luluh akan hal-hal sepele. Ia juga gampang sekali meneteskan air mata. Bahkan, saat menonton drama romantis, Desi tak sungkan untuk menangis. Itulah mengapa sekarang ia menutup diri dari romantisme cinta. Bukan hanya karena takut merasakan kekecewaan lagi, tetapi Desi menyadari bahwa ia sulit sekali melupakan cinta yang sudah tertanam dalam hatinya.
Namun di balik semua kelemahan itu, Desi juga memiliki kelebihan yang selalu ia banggakan. Ketelitian dan kelihaiannya dalam mengatur anggaran, membuat Desi jadi kepala keuangan di perusahaan kecil mereka ini. Sedangkan Maira dan Sasha—yang memiliki sifat supel, aktif, dan periang—bertugas untuk bernegosiasi dengan klien serta mengatur setiap kegiatan di lapangan.
Minggu ini, mereka memiliki dua acara gathering dadakan. Desi mencatat jadwal tersebut di buku agenda sebelum lanjut membaca surel yang tersisa. Setelah memastikan tak ada satu pun surel yang terlewat, ia segera mematikan laptop, lalu merenggangkan tubuh sebelum beranjak dari kursi dan keluar dari ruangan.
Tak terasa, sinar matahari mulai tampak dari balik tirai jendela. Desi memutuskan untuk mandi dan mempersiapkan diri agar bisa menjalani hari dengan perasaan segar. Ia pun bergegas masuk ke kamar, lalu melangkah menuju kamar mandi. Setelah menanggalkan pakaian tidur dan menyalakan keran air, ia melangkah masuk ke dalam bathtub. Ia berharap hangatnya air mampu meredam kesedihan dan menghapus mimpi buruk itu dari ingatannya.
*****
"Pagi, Cantik!" sapa Maira saat memasuki ruang kerja tepat pukul 09.00. Sasha, yang selalu tampil cantik dan menawan, sedang sibuk memperbaiki riasan di belakang meja kerja. Sementara, Desi masih mencoba melupakan mimpi buruknya sambil terus menatap layar laptop dengan tatapan kosong.
"Pagi!" sahut Sasha dan Desi bersamaan. Maira segera duduk di kursi dengan anggun, lalu menyalakan laptop.
"Apa rencana kita minggu ini, Des?" tanya Sasha santai sambil meletakkan peralatan make up ke dalam tas, lalu mengibaskan rambutnya yang panjang dengan gerakan anggun. Mendengar pertanyaan itu, Desi segera mengalihkan pikiran ke pekerjaan.
"Ada dua gathering dadakan yang harus kita urus minggu ini. Yang pertama di hari Kamis, sementara yang satu lagi di hari Sabtu," jelas Desi sambil membaca buku agenda yang ia letakkan tepat di samping laptop.
"Kamis? Serius lu?" tanya Sasha cepat sambil mengerut kesal. Desi mengangguk cepat, menjawab pertanyaan itu.
"Klien lama atau baru?" tanya Maira, tenang.
"Yang pertama, perusahaan lama. Sedangkan yang satu lagi, perusahaan baru. Sepertinya, yang satu ini dapat rekomendasi dari kolega mereka atau semacamnya. Gue kirim ke e-mail kalian untuk detailnya, ya," jelas Desi, cepat. Ia pun segera mengirimkan surel kepada Maira dan Sasha, yang langsung membacanya di laptop masing-masing.
"Kebiasaan!" gerutu Sasha, "Perusahaan Dhirgan selalu menghubungi kita di detik-detik terakhir, deh!"
"Yah, mau bagaimana lagi? Ini 'kan memang kerjaan kita, Sha," balas Maira masih dengan sikap tenang, "biar gue yang handle Dhirgan. Lu tenang saja."
"Oh, iya. Perusahan Zyro ..., mereka dapat rekomendasi dari Pak Ryan pemilik Alaska. Jadi, sebisa mungkin kita kasih yang terbaik sama mereka. Jangan sampai mengecewakan!" ingat Desi sembari menyusun anggaran biaya awal untuk kedua perusahaan tersebut.
"Dhirgan minta acaranya diadakan di Hotel Luxury. Rencananya mereka mengundang seluruh karyawan mulai dari jajaran paling bawah hingga CEO. Sedangkan Zyro ..., mereka minta untuk meeting besok," jelas Maira sembari membaca surel dengan saksama, sementara perhatian Desi masih tertuju pada barisan angka di layar laptop. Setelah memastikan perhitungan dasar yang biasanya mereka tawarkan pada Dhirgan, ia pun segera mengirim anggaran tersebut ke Maira.
"Bujet Dhirgan sudah gue kirim ke e-mail lu, Ra. Kalau ada yang kurang, kasih tahu, ya," jelas Desi. Sasha segera memutar kursi ke arah papan kegiatan yang berada tepat di belakang meja kerja, dan memusatkan perhatian ke jadwal pertemuan di sana.
"Aduh! Besok gue ada meeting sama Pak Dani dari perusahaan farmasi, nih," info Sasha yang disusul decakan kesal.
"Coba gue telepon dulu ke Zyro, siapa tahu bisa reschedule," balas Maira, lalu mengangkat gagang telepon yang berada di samping laptop. Desi tidak terlalu mendengarkan apa yang kedua sahabatnya bicarakan. Ia terlalu sibuk mencari informasi tentang Zyro, yang ternyata merupakan sebuah perusahaan besar berskala internasional.
Perusahaan Zyro memiliki beberapa anak perusahaan yang bergerak di bidang properti, retail, keuangan, dan saham. Dari informasi yang Desi baca, perusahaan itu dimilik oleh seorang pria berdarah Amerika yang menikah dengan wanita Indonesia. Baru saja Desi ingin memperdalam informasi, decakan Maira yang disertai helaan napas panjang, langsung mengalihkan perhatiannya.
"Gimana, Ra?" tanya Sasha cepat setelah Maira meletakkan gagang telepon ke tempatnya.
"Mereka cuma punya waktu besok jam 2 siang. Gimana? Lu bisa, nggak?" tanya Maira ke Sasha.
"Ya, nggak bisalah! 'Kan lu tahu kalau meeting sama Pak Dani bisa seharian. Mereka suka banyak permintaan, dan parahnya ..., suka ngaret!" keluh Sasha seraya bersandar di sandaran kursi, lalu melipat kedua tangan di depan dada.
"Kenapa nggak lu saja, Ra?" saran Desi, santai.
"Gue?" tanya Maira balik.
"Memangnya kenapa?" balas Desi dengan raut polos.
"Besok gue ada meeting terakhir untuk persiapan gathering perusahaan Micro. Acaranya dua minggu lagi, loh. Lu lupa?" jelas Maira mencoba mengingatkan, "belum lagi gue harus urus Dhirgan."
"Astaga, gue lupa! Maaf, Ra. Terus, siapa yang meeting ke Zyro?" tanya Desi, melemparkan pandangan ke arah Maira dan Sasha.
"Lu!" jawab kedua temannya serentak.
Desi langsung terdiam, wajahnya pun memucat seketika. Ia tak percaya kalau Sasha dan Maira sempat-sempatnya berpikir untuk menunjuk dirinya sebagai perwakilan EO ke perusahaan Zyro. Jelas sekali kalau ini bukanlah keahliannya. Bahkan, Desi sama sekali belum pernah bertemu dengan klien secara langsung, apalagi harus bernegosiasi, membicarakan konsep, dan memberikan ide.
"No way!" tolak Desi cepat seraya menggeleng. Ia tak percaya dengan ide gila mereka. Ini sama saja seperti memasukkannya ke kandang singa.
Maira dan Sasha pernah bercerita tentang beberapa klien nakal yang mencoba menggoda dan mengajak mereka untuk menemani pria-pria hidung belang. Mengingat cerita itu, Desi jadi takut jika hal tersebut menimpa dirinya. Lagi pula, ia sama sekali tidak tahu apa yang harus dikatakan saat bertemu dengan klien. Mungkin saja ia bisa mati mendadak, bahkan sebelum kakinya menyentuh lantai perusahaan itu.
"Kenapa?" tanya Sasha santai, lalu mengembalikan pandangan ke layar laptop dan sibuk mengetik di papan keyboard.
"Gila! Gue nggak tahu harus bicara apa nanti. 'Kan kalian tahu kalau gue nggak bisa presentasi atau ..., apalah itu," protes Desi cepat. Maira tersenyum geli melihat rautnya yang panik. Siapa pun pasti bisa menangkap betapa besar rasa takut yang menyelimutinya saat ini.
"Tenang saja, Des. Tugas lu cuma mendengarkan dan mencatat apa yang mereka minta. Kalau lu punya ide bagus, lu tinggal ngomong saja," jelas Maira santai, mencoba menenangkan Desi.
Tidak! Ia tidak bisa tenang sekarang. Desi tahu bagaimana tak layaknya ia menjadi perwakilan EO. Bahkan, Desi bisa berpotensi besar mempermalukan nama baik perusahaan ini.
"I-ide?" ulang Desi gemetaran, "jangankan mikirin ide, bisa-bisa gue bakalan lupa siapa nama gue gara-gara ketakutan."
"Berlebihan, ah! Sekarang saja lu lancar banget ngomongnya," ledek Sasha tanpa menoleh sedikit pun ke arah Desi.
"No. No. No! Definitely, no!" tolak Desi setegas mungkin, "ini bukan bidang gue, Ra!"
Desi melempar tatapan memohon pada Maira, berharap wanita itu mau berbaik hati untuk menggantikan dirinya. Namun, Maira malah tersenyum lembut, seakan-akan percaya bahwa dirinya sanggup menjalani tugas ini.
"Bukannya lu yang bilang kalau kita harus kasih yang terbaik?"
Celetukan Sasha yang disusul tawa jahil, membuat Desi makin gelisah. Sasha memang senang sekali menggodanya, tetapi ini bukanlah waktu yang tepat untuk bercanda bagi Desi. Mendengar Sasha membalikkan ucapannya, Desi hanya bisa tertunduk malu. Tawa Sasha pun terhenti saat Maira berdeham dan beranjak dari kursi, lalu melangkah menghampiri meja kerja Desi sambil membawa beberapa lembar kertas.
"Ini," ucap Maira seraya meletakkan kertas di meja Desi, "ikuti saja arahan yang gue tulis. Gue yakin, lu pasti bisa!"
Cara Maira berbicara menunjukkan bahwa wanita itu percaya kalau Desi mampu melakukan tugas ini dengan baik. Benar-benar berbanding terbalik dengan yang ia rasakan. Dengan terpaksa, ia mengangkat kertas tersebut dan membaca tulisan yang tertera di sana.
'Pertanyaan, permintaan klien, dan catatan penting.'
Terdapat tiga kolom yang sudah tercetak rapi di kertas paling atas. Sementara di kertas yang lain, terdapat beberapa pertanyaan penting yang harus ia berikan pada klien serta skema penyusunan suatu acara. Melihat rapi dan tersusunnya skema itu, Maira seolah-olah berniat mengubah persepsi Desi akan sulitnya mengurus gathering. Namun Desi yakin, mengurus kegiatan di lapangan tak semudah yang terlihat.
"Kalian yakin?" tanya Desi ragu, "bagaimana kalau nanti gue malah bikin malu perusahaan kita, Ra?"
"Lu pasti bisa, Des," sahut Maira tenang. Sifat keibuan dan senyum hangat yang menghiasi wajah Maira, setidaknya mampu membangkitkan rasa percaya diri Desi, meskipun sedikit. Maira segera berbalik dan kembali ke meja kerja, sementara Desi menatap kertas di tangannya.
Ia membaca isi kertas itu berulang kali, berharap setiap kata yang tertera mampu tersimpan dengan baik dalam kepalanya. Namun, tetap saja ia tidak bisa tenang. Sehafal apa pun dirinya, Desi tidak yakin kalau dirinya adalah orang yang pantas untuk datang ke perusahan Zyro.
Ingin sekali Desi mengusulkan untuk menolak gathering tersebut, tetapi itu sangat egois dan kekanak-kanakkan. Yang Desi bisa lakukan saat ini hanyalah memupuk rasa percaya dirinya sembari sesekali melirik ke arah Maira dan Sasha yang benar-benar mengandalkan dirinya kali ini. Maka dari itu, Desi berharap ia mampu melewati ini dengan baik.
*****