A Cornerstone

A Cornerstone

Rissma Inarundzih

4.3

Di antara pendar-pendar cahaya, sulur-sulur tanaman bunga lavendel, wewangian yang menjadi candu akan lahirnya titisan bangsa Dyard. Percampuran antara darah peri hutan, mantra-mantra kehidupan dari penyihir, dan sebuah keagungan karena Dewi Aphrodite menyentuhnya ketika lahir.

"Aku memberinya nama Adelia."

Adelia.

Nama itu terus berulang. Bagaikan rekaman dari alam bawah sadar. Bergaung memekakkan telinga. Abadi dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya. Bahkan ketika beberapa kematian telah dilewatinya, sejarahnya masih sama.

Buk!

Sebuah bantal mendarat mulus di kening Adelia. Membuat sang gadis meringis sambil mengusap dahi beberapa kali. Adelia melotot. Menghadiahi Serin tatapan paling horor serupa rembulan berdarah di langit.

"Tidur mulu. Pintunya udah diketuk dari tadi lho," omel Serin sambil berkacak pinggang.

Adelia tersenyum lebar. Memperlihatkan gigi kelincinya.

"Ya, maaf. Makanya kalau bertamu itu siang dong. Ini udah hampir jam sebelas malem tau," ujar Adelia lelah, melirik jam berbentuk bintang di dinding.

Jam sebelas malam? Adelia menatap Serin curiga.

"Kok ke sini malem-malem, sih?" Adelia memincingkan mata. Biasanya kalau Serin ke sini pasti ada sesuatu. Kalau tidak menumpang makan, ya tidur, paling parah kabur dari rumahnya. Orangtua Serin yang dingin memang bertolak dengan anaknya yang pecicilan. Kadang Adel sampai heran, Serin anak kandung Om James dan Tante Kathy atau bukan.

Serin menyengir sambil memutar matanya. "Eh, iya. Udah nonton film tadi pagi?"

Adelia mengangguk.

"Seru? Bikin baper, kan?" tanya Serin meminta pendapat. Cewek itu mengantupkan dua tangannya dengan mata menatap langit-langit. "Gue sampai nangis ngelihat adegan romantisnya."

"Adegan romantis?"  tanya Adelia melotot.

Serin pasti amnesia sekarang. Film yang diberikannya tadi pagi itu mengerikan. Ceritanya tentang iblis yang memburu seseorang untuk menguasai dunia. Tidak ada tuh adegan romantis. Yang ada Adelia sampai ketakutan menonton sendirian di kos.

"Lo nggak asik, ah!"

Melihat Adelia bereaksi berbeda dari harapan, Serin mengomel kesal.

Adelia mendesah, "Tapi emang filmnya serem tau."

Serin memincingkan mata, lalu mengibaskan tangannya."Tuh, kan. Halu lagi!"

Adelia cemberut. "Siapa yang hal—“

Belum sempat ucapannya selesai, Adelia sudah dilempari bantal lagi. Tepat mengenai wajahnya.

"Serin! Ke—“

"Happy birthday to you! Happy birthday to you! Happy Birthday  .... Happy birthday .... Happy birthday Adelia."

Adelia membekap mulutnya. Matanya memanas melihat Serin bernyanyi riang. Mr. James dan istrinya, Mrs. Kathy, datang membawa kue dengan angka delapan belas tahun. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari ini, sebab Adel tidak punya siapa pun sejak lahir.

"Make a wish!" perintah Mrs. Kathy lembut. Menyodorkan kue ulang tahun agar Adelia bisa meniupnya.

Adelia mengangguk.

Adelia berharap kebahagiaan ini selamanya

Terkadang, manusia hanya bisa berencana tanpa berbuat apa-apa. Kehidupan bukan hanya tentang bahagia, ada kesedihan, ada juga  pengorbanan. Harapan adalah sesuatu yang muluk bagi sebagian manusia. Untuk itulah, beberapa dari mereka tidak terlalu berharap.

"Sudah," ucap Adelia. Tidak bisa menyembunyikan rona bahagianya. Terlalu bahagia, sampai-sampai ini semua terasa semu, dan siap hilang kapan saja dibawa angin.

"Kami ada hadiah untukmu."

Mr. James mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Sebuah kalung berwarna perak berkilau tertimpa cahaya. Bandulnya berupa bintang dengan ukiran rumit berwarna biru bening. Kalung itu berpendar. Seolah meminta Adelia segera menggenggamnya.

"Ini cantik."

"Tentu saja. Kami memilihkan yang terbaik untukmu," sahut Mrs. Kathy berapi-api. Memandang Adelia penuh kelembutan.

"Terima kasih."

Adelia menggengam kalungnya erat. Seketika itu pula, ada pedar biru yang bersinar di antara jemarinya. Cahayanya merambati dinding, berlomba dengan angin yang berembus kencang. Membelah langit yang tadinya tertutup kabut tebal. Sinyal bahwa takdir yang seharusnya telah berjalan, dan sejarah akan terulang. Akhirnya tergantung pilihan si pemilik takdir.

"Sudah, sudah mellow-nya," seru Serin keras. Kali ini Serin tidak mau ketinggalan, sebuah gelang polos berwarna hitam. Tidak ada yang menarik sebenarnya, selain Serin yang memberikannya secara tulus.

"Ini gelang antik, jadi kudu dijaga baik-baik," ujar Serin dengan mata melotot. Dia menjauhkan kotak persegi berwarna hitam di tangannya, lalu menyuruh Adelia mengambil isinya. "Gelang ini bisa buat cari pasangan lho," promosi Serin lagi.

Adelia menggetok kepala Serin dengan cekikikan puas.

"Mau ngatain jomblo, ya?" tanya Adelia dengan tawa lebar.

"Kan emang bener!" seru Serin semangat. "Itu gelang ikatan takdir tau. Kata penjualnya bisa mencari mate kita di dunia alien."

Adelia menggeleng."Terserah deh!"

"Sudah, sudah. Ayo potong kuenya!" Mrs. Kathy menangahi. Bisa-bisa mereka akan berdebat sampai pagi menjelang.

Adelia mengangguk, memotong kuenya dengan potongan besar. Memberikan masing-masing untuk ketiganya dengan cinta yang sama.

"Selamat ulang tahun, Adelia!"

Ucapan selamat ulang tahun itu terngiang di telinga Adelia, menghantarkannya ke mimpi-mimpi yang selalu kosong tanpa adanya kehidupan, ke sebuah tempat dengan seluruh cahaya yang menjadikan tempat itu pusat paling terang. Di antara birunya langit atau hijaunya serumputan, tidak ada senyum yang menghiasi Adelia. Semuanya terlalu sempurna. Hingga semua orang tidak berani menyentuh tempat itu dan segala isinya. Menjadikan sepi adalah teman sehari-hari.

Tidak ada Serin yang bawel dan membuat dunianya hidup, tidak ada senyuman menenangkan dari Mrs. Kathy, tidak ada nasihat yang bisa diandalkan dari Mr. James.

Mimpi itu terasa nyata. Adelia berusaha merebut kesadarannya di ambang remang-remang cahaya kamar.

"Ini mimpi," gumam Adelia sambil menelanjangi sekitarnya.

Tidak ada bekas perayaan ulang tahun; kue yang telah dipotong, lilin yang habis termakan api, sisa-sisa kebahagiaan.

Semuanya terasa semu sampai Adelia merasakan sesuatu di lehernya. Kalung berbandul bintang berwarna biru terang. Pantulan rembulan membuat kalung itu menjadi satu-satunya pencahayaan di kamarnya. Bersamaan dengan pedar dari rambut Adelia yang berubah warna menjadi cokelat terang. Mata obsidiannya menghunus ke segala arah. Memanggil jiwa-jiwa yang tengah menanti takdir mereka. Bahwa adanya campur tangan yang membuat fase kehidupan ini menjadi berbeda.

Di antara remang-remang cahaya lampu bohlam di sudut rumah Adelia bagian kiri, berdiri seseorang dengan jubah serba hitam. Entah mengapa dia bisa berdiri di sana, dalam kebingungannya, bibirnya berucap dengan sendirinya, "Kita akan bertemu lagi."

***

Pertama kali yang dipikirkan Adelia ketika berangkat ke kampus adalah mencari keberadaan Serin. Sahabatnya satu itu pasti sedang ke perpustakaan. Adelia sudah mencari ke kelas, tapi tidak ada teriakan heboh dari Serin saat membicarakan anak baru di fakultasnya. Kelasnya sudah tidak berpenghuni ketika Adelia menyusul.

"Lihat Serin nggak?" tanya Adelia pada penjaga perpustakaan, Kak Dewn, begitulah mahasiswa lain memanggilnya. Perempuan berkacamata bulat yang selalu mengenakan kulot garis bendera dipadu blazer merah itu mengerutkan kening.

"Serin?" tanya Dewn heran.

Adelia yang ganti mengernyitkan dahi. Apalagi binar jahil yang tidak pernah ditemukannya di mata Kak Dewn. "Iya, Kak. Masa lupa, sih? Aku kan selalu bareng Serin ke sini," jelas Adelia menuntut.

Dewn menyentuh kening Adelia. "Nggak panas, tapi kenapa kamu ngawur, Del?"

Adelia menggelembungkan pipi. "Ngawur gimana? Udah deh. Serin ke sini apa nggak nih?" tanya Adelia mengulang. Kali ini dengan tangan berada di pinggang.

"Kalian kan musuhan."

Penjelasan ngawur lagi.

"Ini bukan April Mop, ini udah Desember. Kak Dewn jangan ngaco," tuduh Adelia dengan mata melotot, meskipun penjelasan Kak Dewn terlihat meyakinkan.

Dewn tertawa keras. Hingga urat-urat di wajahnya terlihat. Satu sifat yang tidak pernah diperlihatkan ke Adelia, padahal Adelia dan Serin itu pelanggan tetap perpustakaan. Setiap datang pasti disuguhi wajah dingin plus datarnya saja. Boro-boro tertawa, dibalas senyum oleh Kak Dewn saja termasuk hal langka. "Kak Dewn ketawa," ujar Adelia pada dirinya sendiri. Tentu saja terkejut melihat fakta di depannya. Bagus sih sebenarnya. Jadi, kalau ke perpustakaan tidak takut wajah galaknya Kak Dewn lagi.

"Kamu aneh, Del," ucap Kak Dewn mengomentari.

Adelia mengangguk setuju. Dia juga merasakan ada yang aneh. Suasana di sekitarnya terasa berubah. Entah karena kalung yang melingkar di lehernya, gelang yang terasa pas di pergelangan tangan, atau ucapan selamat ulang tahun dari alam bawah sadar yang seperti panggilan kematian. Yang pasti semuanya terasa semu, abu-abu.

"Ya udahlah. Nggak ketemu Niko kemarin buat kamu jadi linglung kali, ya?" Kak Dewn tertawa lagi, lebih renyah dari sebelumnya.

Belum sempat Adelia mencerna perkataan Kak Dewn, perempuan itu memekik heboh, "Nah, itu dia!"

Adelia mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Kak Dewn. Mata Adelia membulat ketika Serin tertawa senang dengan dua temannya. Adelia hanya mengingat dua orang itu satu kelas dengan Serin. Untuk kedekatan mereka, hal itulah yang perlu dipertanyakannya sekarang.

"Serin!" panggil Adelia keras.

Serin yang tadinya tengah mengerjai Fifi—si kutu buku paling bodoh—terdiam. Raut heran di wajah Serin membuat langkah Adelia melambat. Tidak ditemukannya Serin yang heboh dengan kehadiran Adelia, atau serbuan Serin sebelum Adelia menyapanya sekali pun.

"Serin, bisa bicara berdua?" tanya Adelia lirih. Apalagi ketika dua teman Serin menatapnya tajam, seolah-olah Adelia menyembunyikan sesuatu yang berharga. Adelia jadi salah tingkah.

"Lo siapa?" tanya Serin heran.

Adelia terhenyak. Tidak ada tanda-tanda Serin sedang mengerjainya. Badan Adelia bergetar. Seperti dihujani ribuan mata yang siap menerkam.

"Ini nggak lucu. Jangan bercanda deh," sungut Adelia keki. Suasana di sekitarnya berubah mencekam.

Mendung bergelayut, membuat sinar mentari yang tadinya menerobos masuk mulai menghilang.

"Siapa yang bercanda? Aku nggak kenal kamu," jawab Serin santai. Kedua tangannya berlipat di depan dada. Setelah menyentil dahi Fifi—hingga membuatnya lari terbirit-birit—Serin berdiri. Mengamati Adelia dari atas ke bawah.

"Kamu kan yang mau kerja di tokonya Dad," ujar Serin setelah menyadari sesuatu. Kepalanya mengangguk-angguk, lalu menghentikan aktivitas meneliti Adelia.

"Dad? Maksudnya?" tanya Adelia memastikan.

"Serius kamu nggak kenal Mr. James Hardey? Seriously?" Ejekan itu berasal dari Emili Lancaster, cewek berambut sebahu berwarna merah bata. Adelia mengingatnya sebagai pembuat onar di hadapan dosen atau mahasiswa lain. Spesies yang dihindari Adelia dan Serin.

Tunggu, bukannya Adelia memang sudah bekerja dengan Mr. James sejak dulu, ya? Maksudnya 'yang mau kerja' itu pasti bukan dia. Kayaknya otak Serin terbentur sesuatu.

"Serin, kita perlu berbicara sesuatu," pinta Adelia cepat. Firasatnya mengatakan hal buruk yang sedang terjadi.

"Sorry, Serin nggak punya banyak waktu ngeladenin kamu," jawab Mika Watson, mata sebesar jengkolnya yang Adelia ingat pernah membuat Serin jengkel setangah mati. Waktu itu Serin dipelototi Mika karena mengadukan kecuringannya waktu ujian.

"Ini penting!"

"Sorry, ya. Ad .... Whats your name?" Serin mengingat-ingat. "Aha, Adelia. Aku nggak tahu siapa kamu. Jadi minggir aja sekarang."

Serin berjalan melaluinya, sempat menyenggol Adelia hingga terhuyung pelan. Mika dan Emili mengekorinya di belakang. Adelia pernah mengalami yang seperti ini dengan kejadian yang persis. Dilakukan oleh Mika dan Emili menggunakan ucapan yang sama. Bedanya, Serin tidak ada di antara mereka.

"Del, kamu nggak apa-apa?"

Adelia menoleh ketika berbalik, ditemukannya wajah khawatir yang seharusnya membuat Adelia merasa lega alih-alih bertambah khawatir.

"Liliana?"

Liliana tertawa ramah. Padahal seharusnya menampilkan ekspresi judes dan sombong seperti Serin tadi. "Iya, ini aku sahabatmu, Sayang."

Sahabat katanya? Sahabatnya itu Serin!

"Nggak! Kamu bukan sahabatku," tolak Adelia dan berjalan mundur. Keheranan di wajah Liliana tidak membuat Adelia mundur teratur.

"Kamu ngawur, Del. Kita udah sahabatan dari kecil tau," koreksi Liliana berusaha mendekat.

Adelia menggeleng. Liliana adalah cewek yang selalu meremehkannya sejak dulu. Hobinya menjahili kutu buku seperti Fifi untuk mendapatkan kesenangan. Lebih memilih menongkrong di kantin daripada ke perpustakaan atau mengikuti mata kuliah. Liliana bahkan pernah mendorongnya hingga tersungkur ketika Adelia mengotot tidak mau memberikan antreannya waktu di kafetaria.

Adelia meringis. "Ini mimpi, ya?"

"Masih belum ingat kalau ulang tahun kamu itu kemarin? Gimana gelangnya? Bagus, kan?"  tanya Liliana antusias. Matanya yang seperti boneka hidup membulat. Seolah-olah jawaban Adelia sangat ditunggu-tunggu.

"Kamu yang kasih gelang?"

Lili mengangguk. "Maaf, ya. Kemarin aku tinggalin sendiri. Kan udah melam."

Tadi malam Adelia tidak bermimpi. Hanya saja subjek yang melakukannya berbeda. Entah kejadian tadi malam atau sekarang, semuanya terasa di luar logika.

Hingga Adelia mencium bau tanah sehabis hujan. Dicarinya ke segala sudut perpustakaan. Namun tidak ditemukan apa pun, Adelia mendesah. Kepalanya terasa pening sekarang.

"Kalung ini ...."

Liliana mendekat. Memekik keras dan beringsut menjauh. "Buang itu, Adelia!" perintah Lili cepat. Meskipun tidak menunjuk benda yang dimaksud, Adelia cukup mengerti kalung berbandul bintang ini yang ditakuti Lili.

"Kenapa?"

Lili menggelengkan kepala. "Tidak," jawabnya berusaha normal. Wajahnya tidak lagi menampakkan ketakutan seperti tadi. Menambah kecurigaan Adelia.

"Kenapa?" tanya Adelia mengulang. Kali ini mendekati Lili yang berjalan mundur dengan lambat.

"Tidak ada. Hanya saja itu terlalu cantik menurutku," jawab Lili dengan cengiran lebar. Tidak ada kebohongan dalam suaranya. Sungguh meyakinkan.

"Ada apa dengan kalung ini?" gumam Adelia bertanya. Berharap mendapat jawaban seperti yang diucapkan sahabatnya tadi malam.

Bau tanah sehabis hujan tercium kembali. Kali ini lebih menusuk dari sebelumnya. Dada Adelia bergemuruh. Jawaban yang terdengar membuat Adelia menggigil. Kegelapan merayapi dinding-dinding, membuat ruangan kerut, atap-atap merendah, rak-rak menghimpit Adelia dalam sesaknya ketakutan. Sesuatu mendorong bahu kirinya pelan. Telinganya terasa mendidih.

"Untuk pertemuan kita."

***