Get The Number
ᴛᴀᴋᴅɪʀ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ʙᴇʀᴛᴀɴʏᴀ ᴀᴘᴀ ᴘᴇʀᴀꜱᴀᴀɴ ᴋɪᴛᴀ, ᴀᴘᴀᴋᴀʜ ᴋɪᴛᴀ ʙᴀʜᴀɢɪᴀ, ᴀᴘᴀᴋᴀʜ ᴋɪᴛᴀ ᴛɪᴅᴀᴋ ꜱᴜᴋᴀ. ᴛᴀᴋᴅɪʀ ʙᴀʜᴋᴀɴ ʙᴀꜱᴀ-ʙᴀꜱɪ ᴍᴇɴʏᴀᴘᴀ ᴘᴜɴ ᴛɪᴅᴀᴋ. ᴛɪᴅᴀᴋ ᴘᴇᴅᴜʟɪ. ᴋᴀʀᴇɴᴀ ᴋɪᴛᴀ ᴍᴀᴜ ᴍᴇɴᴇʀɪᴍᴀ ᴀᴛᴀᴜ ᴍᴇɴᴏʟᴀᴋɴʏᴀ, ᴅɪᴀ ᴛᴇᴛᴀᴘ ᴛᴇʀᴊᴀᴅɪ.
ᴛᴇʀᴇ ʟɪʏᴇ
Ting. Postingan anda dibagikan.
Aku masih melihat ke layar Gawai, membaca satu persatu status teman-teman sekelas yang mengeluhkan cuaca hari ini.
Ini sudah bulan kedua memasuki musim kemarau, semakin hari udaranya semakin menggila. Kalau bukan karena kuliah, aku lebih senang berada di rumah seharian.
Ck! Aku melirik Arloji karet merah hati di pergelangan tangan. Lima belas menit sudah aku menunggu Rien. Kalau bukan demi Kak Rey aku enggak akan mau menunggu kayak gini.
Tadi Rien udah minta aku ikut ke Musala sekalian menunggu dia salat zuhur, seperti biasa tentu saja aku menolak. Gila kali dia. Mau taruh di mana ini hidungku yang mancung kalau duduk di musala tapi enggak salat. Lagian tuh anak enggak paham-paham juga dikasih tahu.
Daripada berdiri enggak jelas di sana kayak patung baju, mendingan aku duduk di sini.
Eh, aku baru sadar lho kalau ternyata di sebelah gerbang C ini ada pohon besar, mana rimbun banget gitu lagi pohonnya. Pantas aja dari tadi duduk di sini aku enggak kipas-kipas cantik, kegerahan. Bawaannya adem terus, rupanya karena ini, toh.
Ting! Aku buru-buru menggeser layar ponsel ke atas.
Arghh!
Kak Ari? Lagi-lagi dia. Aku mengernyit bingung sambil mengetuk-ngetuk layar menggunakan jari telunjuk, berusaha mengartikan emoticon love yang selalu diberikan Kak Ari disetiap postinganku. Tapi selalu gagal. Apa Kak Ari ....
Jangan-jangan yang itu juga karena ulah Kak Ari.
Dulu, waktu SMK rame banget yang gosipin aku pacaran sama Kak Ari. Padahal aslinya kami cuma tetanggaan, dan dia, kan, Abangnya Rien. Kami berdua sering banget jalan-jalan. Tapi aku enggak menganggap Kak Ari lebih dari itu, kami berdua enggak ada hubungan spesial apa-apa.
Tapi entah kenapa, dulu tuh gosipnya panas banget udah kayak gorengan baru turun dari kuali. Uhm, atau jangan-jangan itu juga yang jadi penyebab surat-suratku waktu SMK dulu enggak pernah dibalas Kak Rey, ya! Hah? Apa iya karena itu ....
Aku memukuli kening dengan telapak tangan. Bego banget, sih, aku. Gitu aja enggak kepikiran. Pokoknya begitu nanti Rien kasih nomornya, aku bakalan langsung telepon dan jelasin semuanya ke Kak Rey. Dia harus tahu, cewek yang mengagumi dia sejak kelas satu SMK ini masih belum mengubah perasaannya sampai sekarang. Dan enggak akan berubah sampai kapanpun.
"Hei, Bee!"
Aku menoleh malas. Itu Rien, bisa-bisanya suara dia masih riang begitu tanpa rasa bersalah padahal udah molor lima belas menitan.
"Sorry, lah! Tadi ketemu sama Kak Bah, terus keasyikan ngobrol," ujarnya sambil mengulum senyum. Kerudung warna marun yang terulur sampai ke pinggangnya membuat Rien terlihat anggun seperti ustazah. Yang sering ceramah di TV, siapa, ya, namanya? Rien mirip banget sama itu.
"Dimaafin! Mana nomornya?"
"Eit, tunggu dulu! Udah salat zuhur belum?"
Aku mengembuskan napas panjang.
"Salat, kan, enggak wajib, sih, Rien!"
"Kata siapa?" sahut Rien sambil menoyor pelan kepalaku. "Salat itu wajib, Nabila Sudarman! Kecuali buat beberapa orang yang memang enggak diwajibkan untuk salat."
"Aku salah satunya!" sahutku mantap.
"Lagi datang tamu?"
Aku menggeleng cepat.
Mata Rien melotot.
"Yang enggak wajib tuh orang gila, anak-anak, sama perempuan haid. Dan ... kalau bukan haid jadi apa?" ujarnya sambil tersenyum. Sebelah bibirnya terangkat naik.
"Bukan gila, kan?" lanjutnya sambil mengedip-ngedipkan mata dan mengulum senyum.
"Terserah, Rien! Terserah!" Aku mendengkus kesal.
"Cepatlah, mana nomornya? Udah panas, nih!" seruku sambil mengibas-ngibaskan tangan.
"Buru-buru kali, sih? Udah rindu kali kau rupanya?"
"Bukan cuma kali, Rien! Udah rindu setengah mati aku sama Kak Rey! Buruan ... minta!" rengekku setengah memaksa sambil menarik-narik pinggiran gamis Rien.
"Rey yang enggak ngasih kau apa-apa aja kau kangenin! Masa iya, Allah yang udah ngasih kau kehidupan, kau enggak kangen?"
Ck! Bisa enggak, sih, Rien, sehari aja enggak ceramah?
"Kayaknya Om Sudar harus ganti nama anaknya, nih!" ujar Rien sambil berkacak pinggang.
Aku melotot. "Maksudmu?"
"Iya, Om Sudar harus ganti namamu! Nabila ... jadi Bila! Bila izrail datang memanggil!" sahut Rien sambil tertawa terbahak-bahak.
Aku melengos. Bisa-bisanya dia jadikan namaku lelucon. Pakai sebut-sebut malaikat pencabut nyawa lagi! Enggak lucu!
***
Huft! Akhirnya ... setelah ceramah panjang plus wejangan, Aku berhasil dapat nomor Kak Rey dari Rien.
Rien bilang dia sampai begadang nungguin Kak Ari tidur baru bisa ngambil nomor Kak Rey dari ponsel Abangnya. Aku berterima kasih banget sama dia dan sebagai bayarannya aku udah janji mau traktir makan dimsum besok.
Andaikan aku sendiri bisa dapat nomornya Kak Rey, pasti Rien enggak perlu sembunyi-sembunyi ambil nomor dari HP abangnya sampai begadang gitu.
Tapi mau gimana lagi? Semua media sosial udah kuubek-ubek untuk mencari seorang Reyhan Pradipta, tapi nihil. Enggak ada satu akun pun miliknya di media sosial.
Friendlist Fb, Ig, sampai Twiternya Kak Ari juga udah kutelusuri tapi enggak ketemu. Ya, kali aja, kan, ada. gimana pun Kak Ari sama Kak Rey di SMK dulu, kan, sekelas. Masa iya mereka enggak berteman di medsos? Tapi, ya, tetap nihil. Jalan satu-satunya cuma dengan minta tolong Rien untuk lihat kontak telepon di ponsel Kak Ari, dan aku bersyukur banget, ini membuahkan hasil. Buktinya ini, nomor Kak Rey yang kusimpan di telepon langsung menampilkan profil WA-nya.
Jangan tanya, ya, kenapa aku enggak minta langsung sama Kak Ari. Itu cuma buang-buang waktu aja karena Kak Ari enggak akan ngasih. Pelit banget dia dari dulu kalau soal Kak Rey.
Aku berbaring di tempat tidur setelah sebelumnya menyalakan AC. Cuacanya masih belum berubah padahal ini udah jam empat sore.
Sepanjang jalan tadi aku ngedumel karena kepanasan. Tapi malah diceramahin sama Rien, kata dia panas di dunia ini enggak seberapa dibanding panasnya apa Neraka.
Halah Rien, kalau ngomong suka sok iya. Tapi aku enggak berani bilang gitu, ding! Bisa-bisa nanti dia marah dan enggak mau boncengin aku ke kampus. Jadilah sepanjang jalan aku ngedumel sambil ngebatin. Untung enggak sampe tersiksa, nih, batin!
Aku kembali menekuri layar ponsel sambil memeluk guling. Ini posisi ternyaman yang paling kusukai. Aku memiringkan badan ke kanan, dengan begini aku bisa bermain ponsel dan menikmati pemandangan di luar jendela.
Penasaran, aku langsung mengklik foto yang menjadi profil nomor Kak Rey. Di foto itu ada Kak Rey sedang memakai kaus singlet berwarna hitam, bagian pinggang sampai kakinya tertutup selimut berwarna putih. Dan itu ... ada sepasang kaki yang kelihatan menyembul sedikit di sebelah Kak Rey. Aku memperbesar fotonya menggunakan dua jariku. Mataku sampai menyipit agar dapat melihat dengan jelas. Astaga! Aku terlonjak kaget sampai terduduk tiba-tiba. Itu kaki siapa?