40 Hari untuk Rinduku

40 Hari untuk Rinduku

Cici R

4.6

“Tak terasa gelap pun jatuh, di ujung malam menuju pagi yang dingin

Hanya ada sedikit bintang malam ini, mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya.”

(Payung Teduh - Untuk Perempuan yang sedang Dalam Pelukan)

 

Terdengar lantunan lagu dari Payung Teduh dengan jelas di telingaku, bukan karena volumenya yang keras, hanya saja karena ruangan ini seketika hening dan menyisakan lagu yang terputar di salah satu PC di ruangan itu. Ya, sangat hening bahkan karena terlalu heningnya sampai-sampai udara di sini pun terasa amat dingin. Penyebab suasana amat sangat tak kuinginkan ini ialah tatapan pria di pojok ruangan itu yang duduk tepat di depan PC yang melantunkan lagu tersebut. Dia terus menatapku lekat, dengan tatapan tajamnya seolah-olah tengah mengadiliku karena aku telah melakukan kesalahan yang amat sangat fatal.

Aku menegakkan dudukku di sofa yang ada di tengah ruangan ini, sembari berpikir apa kesalahan yang telah kulakukan sehingga orang itu membuatku canggung dengan tatapannya. Namun, sekeras apa pun aku berpikir aku tetap tidak menemukan kesalahanku. Jelas saja aku tidak menemukannya, aku baru saja tiba di sini beberapa menit yang lalu untuk melaksanakan KP (Kuliah Praktik atau magang). Bagaimana bisa aku melakukan kesalahan? Pertama, aku menemui Pak Riko di kantor beliau yang ada di depan kantor ini. Setelah itu, aku langsung diajak beliau ke kantor operasional yang tidak lain adalah tempat aku berada sekarang, dan sekarang aku sedang menunggu beliau yang sedang menemui Bu Indah selaku orang kepercayaan Pak Riko untuk menitipkanku selama satu minggu di sini.

“Ayo, Rin, Perkenalan dulu,” tegur Pak Riko menyadarkanku dari renunganku.

“Ah, Baik, Pak,” jawabku spontan.

“Perkenalkan nama saya Airin Arsya Ridwan, saya akan melakukan KP di sini kurang lebih 40 hari, di mana khusus di kantor operasional ini satu minggu dan sisanya di kantor administrasi,” ujarku

Aku memperkenalkan diri kepada para staf-staf yang ada di ruangan ini, aku bersyukur sambutan mereka kepadaku cukup ramah, bahkan ada beberapa dari mereka yang mulai melontarkan candaan kepadaku. Dan kemudian dilanjutkan dengan mereka yang memperkenalkan diri mereka. Mungkin aku akan sangat betah untuk tinggal di sini, pikirku. Namun ada satu hal yang luput dari perhatianku. Iya, si pria dengan tatapan tajamnya sedang tidak berada di ruangan itu. Entah sejak kapan ia keluar dari ruangan itu, sepertinya ia keluar ketika aku merenung tadi. Hah! sial, batinku. Jelas saja aku sedikit kesal, karena dengan sikapnya yang begitu pasti akan sedikit mengganggu kenyamananku selama seminggu ke depan di kantor operasional ini.

***

Aku terbangun ketika bunyi jam alarm di handphone-ku. Ini adalah hari keduaku melaksanakan KP, aku lalu bergegas mandi dan bersiap-siap, dilanjutkan dengan memasak makanan untuk bekalku. Setelah siap aku berangkat menuju kantor operasional seperti kemarin. Ketika sampai di depan pintu gerbang kantor, aku melihat sosok yang sangat tidak kuharapkan di depan tangga. Aku memaksakan diriku untuk tersenyum dan menyapanya walau hati ini teramat berat, namun demi nilai KP-ku, apa boleh buat? Namun detik itu juga aku mengumpat dalam hati, sial! Sia-sia senyuman cantikku. Batinku. Bagaimana mood-ku tidak langsung meluncur bebas ketika aku memaksakan diri tersenyum dan menyapanya, ternyata orang itu malah membuang muka dan pergi seenak jidatnya. Ya siapa lagi orang itu kalau bukan pria kemarin yang menatapku dengan sangat-sangat mengganggu di pojok ruangan dan sikapnya yang seolah tidak pernah menghargai orang lain.

“Ya Tuhan, semoga saja pria itu terkena teguranmu. Amin,” doaku pelan.

Dan benar saja baru beberapa langkah dia berjalan, ternyata dia menabrak tiang yang ada di dekat tangga di depannya. Aku sontak tidak dapat menahan tawaku, dan seketika dia langsung menatap sinis ke arahku, dan membuatku merasa bersalah karena menertawakannya. Aku lalu perlahan pergi seolah tidak melihat apa yang terjadi di depanku. Dan aku mendengar dia mendesis seolah mengumpat kepadaku, dan aku tidak mau berlama-lama di dekatnya karena pasti akan menghancurkan mood-ku lagi.

Di ruangan ini aku langsung disambut dengan seyuman Bu Indah, beliau lalu mengajarkanku untuk menginput dan mengolah beberapa data yang biasa di kerjakan pegawai-pegawai yang ada di sini. Aku lalu diberikan tugas untuk mengerjakan beberapa data dan meganalisisnya. Setelah beberapa saat beliau kembali ke meja kerjanya. Aku tetap melanjutkan tugasku dengan sesekali menonton televisi yang ada di depanku. Tanpa sadar aku duduk di lantai karena memang ketika mengetik untuk menginput data sangat nyaman untuk duduk di tempat tersebut, selain terkesan santai dan bebas.

“Ngapain kamu duduk di bawah?!” tanya pria itu yang sebenarnya tidak termasuk seperti kategori orang sedang bertanya, lebih tepatnya seperti membentak.

“Hah? Ng.. nggak apa, Mas, nyaman aja,” jawabku bingung, dan dia hanya menjawab dengan membalikkan badannya lalu pergi.

“Gitu doang?” ujarku berbisik sendirian. Jelas saja aku bingung, dia datang lalu sedikit bertanya yang seperti tidak bertanya lalu pergi ke pojok ruangan dan memutar lagi lagu itu, ya lagu yang kudengar ketika pertama kali aku datang ke kantor ini.

***

Aku sedang melanjutkan kegiatanku, dan selama aku melakukan kegiatanku aku merasa ada sosok yang menatapku dari pojokkan ruangan itu. Ya siapa lagi, dia lagi. Apasih salahku, batinku. Aku lalu berdiri dan menghadap ke arahnya, dan kulihat dia memalingkan wajahnya lagi. Aku lalu melangkahkan kakiku, tapi bukan ke arahnya, aku melangkah menuju meja Bu Indah untuk menanyakan tentang tugasku yang sudah selesai kulaksanakan. Bu Indah melihat tugasku dan tersenyum puas, beliau lalu memujiku, dan beberapa staf sempat melihat tugasku juga dan mereka mengatakan hasil kerjaku memang tergolong cukup bagus untuk pemula.  Sedikit kulirik ke arahnya, mas-mas di pojokan ruangan yang sampai kini satu-satunya orang yang aku tidak tahu namanya. Dia sedikit tersenyum walaupun samar-samar dan langsung memalingkan wajahnya menatap layar komputer di depannya seolah sedang melakukan sesuatu. I catch you bro, batinku.

“Rin, kalau kamu sudah selesai dengan tugas itu kamu lanjutkan tugas yang ada di meja itu ya, ntar kalau ada yang tidak kamu mengerti silakan tanyakan saja dengan Mas Andra. Soalnya ibu mau keluar dulu, jemput anak ibu di sekolahnya,” ujar Ibu Indah

“Iya, Bu, hati-hati di jalan, Bu,” jawabku sambil tersenyum.

Mas Andra? Yang mana ya? Tanyaku dalam hati. Setahuku selama ini aku tidak pernah degar nama itu. Oh, mungkin orang kantor sebelah, atau jangan-jangan si pria menyebalkan yang ada di pojokkan itu? Aku menoleh ke arahnya dan apa yang kulihat semakin membuatku kesal kepadanya. Hei ini masih jam kerja dan dia, apa yang tengah dia lakukan? Dia tertidur dengan pulasnya di atas mejanya. Hancur nasib KP-ku hari ini jika dia memang benar Mas Andra yang dimaksud Bu Indah.

Baru saja aku hendak melangkahkan kaki menuju Pak Sam, yang meja kerjanya tepat di belakangku untuk bertanya tentang siapakah gerangan sang “Mas Andra” tersebut, namun tiba-tiba kudengar pintu berderit, dan terbuka menampilkan sesosok pria tampan nan bening. Aku tak bisa mengedipkan mataku. Ya Tuhan, nikmatmu sungguh tiada bandingnya, ucapku dalam hati. Astaghfirullah istigfar, Rin, bisik hatiku. Pria itu lalu tersenyum ke arahku, ia mengulurkan tangannya dan menyapaku. Inikah Mas Andra? Tanyaku dalam hati. Ia seperti bisa membaca hatiku, ia langsung mengulurkan tangannya dan langsung memeperkenalkan diri.

“Hai, anak magang ya? Namaku Iwan, aku programmer di sini, kalau ada yang mau ditanyakan silakan, jangan sungkan ya,” ujarnya dengan lembut.

Kurasakan hatiku memanas dan seperti meluluh, kusambut uluran tangannya dengan tersenyum kikuk, dia ramah tidak seperti seseorang di pojok ruangan. Ah, tiba-tiba aku teringat tentang Mas Andra, jika orang yang tampan nan bening ini bukan Mas Andra lalu siapa yang dimaksud dengan Mas Andra? Kulihat Mas Iwan menuju ke arah pojok ruangan menuju orang itu yang tengah tertidur pulas, apa yang akan dilakukan Mas Iwan? Ah, aku hari ini terlalu banyak bertanya dalam hati.

“Woy, bangun, Ndra. Lu begadang lagi ya? Pasti lu mabar lagi kan, sampe jam berapa lu?” tanya Mas Iwan ke pada orang itu sembari membangunkannya.

Ndra? Apa? NDRA? ANDRA? Benar saja rupanya dugaanku orang menyebalkan di pojokkan ruangan itu ialah dia si “Mas Andra” yang dimaksud Bu Indah. Ampun, Bu, apa salah saya sampai harus bertanya dengan orang itu. Aku sangat yakin kekhawatiranku pasti tergambar jelas di wajahku, sampai-sampai si Andra itu melihat ke arahku dengan kening berkerut.

“Ngapain lu di situ? Ngintipin gue tidur ya?!” tuduhnya dengan ketus.

Ya Tuhan, ini orang mulutnya terbuat dari pisau kali ya, tajam banget dah, terkoyak hati dedek. Sungutku dalam hati.

“Yaelah ditanyain malah diem, merengut gitu lagi. Gak usah dijelek-jelekin juga mukanya,” ucapnya lagi dengan tampang meyebalkannya.

“Wei, Bro, jangan kasar gitu dong ke cewek, pantes aja lu jomblo terus. Lu-nya gak pernah lembut sih ke cewek,” kata Mas Iwan menegur si Andra menyebalkan itu.

Savage, ujarku dalam hati sambil berusaha menahan tawa. Aku lalu berdeham dan mengatakan apa maksudku berdiri di dekatnya.

“Begini, Mas, tadi saya dikasih tugas sama Bu Indah, kata beliau jika ada yang saya tidak mengerti bisa di tanyakan ke Mas Andra,” jelasku pada si Andra.

“Oh,” jawabnya singkat.

Ya Tuhan, ini orang memang pelit kali ya, sampai bicarapun harus dihemat begitu. Sabar, Rin, sabar, ada Mas Iwan ganteng disini jadi lu harus jaga image.

“Jadi, bagaimana ya, Mas? Ada yang saya tidak mengerti di bagian jumlah nilai syarat batasnya,” ucapku berusaha memancing penjelasan darinya.

Dia lalu membuka tasnya dan mengambil sebuah flashdisk, lalu dia mengkopi beberapa file dari komputer di depannya. Dia lalu menyodorkan flashdisk tersebut kepadaku.

“Ini, ada penjelasannya di dalam sini, dibaca-baca aja biar paham sendiri,” ucapnya singkat tanpa menoleh kepadaku.

“Kita jadi makan siang bareng?” tanyanya.

“Hah? Mm.. makan siang?” tanyaku bingung.

“Bukan lu yang gue tanya tapi yang disamping lu,” jawabnya ketus.

Aku mengerutkan kening, lalu menoleh ke sampingku. Dan benar saja, ke mana otakku Ya Tuhan, bagaimana aku bisa bahwa sedari tadi masih ada Mas Iwan disampingku. Dan pertanyaan makan siang tadi pasti ditujukan untuk Mas Iwan. Oh sial, mau kutaruh di mana mukaku. Aku yakin saat itu juga wajahku pasti merah padam. Ku lirik mas Iwan yang terkikik di sampingku dan aku lalu melirik ke Mas Andra yang masih dengan cueknya membereskan barangnya yang ada di meja.

“Apalagi? Kok masih di sini?” tanya Mas Andra masih dengan nada bicaranya.

“Rin, kalau kamu mau ikut makan siang bareng kami boleh kok,” ajak Mas Iwan dengan senyum lembutnya.

Baru saja aku akan menolak ajakan Mas Iwan, tapi sebuah suara langsung menyeletuk

“Gak, gue gak mau bareng dia,” sahut si Andra.

Kulihat Mas Iwan menautkan alisnya, lalu tersenyum penuh makna. Untuk menghindari susasana yang tak mengenakan aku lalu berusaha berbicara dengan penuh kehati-hatian

“Mm.. maaf, Mas Iwan, mungkin lain kali saja, saya sudah ada bawa bekal tadi. Saya permisi dulu, Mas Iwan, mas Andra,” ujarku sambil tersenyum kikuk.

“Oh begitu, iya silakan Rin,” jawab Mas Iwan.

***

Kulirik jam dinding di ruanganku menunjukkan pukul 17.00 sudah satu jam lewat dari jadwalku pulang seharusnya. Namun ada beberapa hal yang masih harus ku selesaikan hari ini sebelum meninggalkan ruangan ini, aku harus menyelesaikan running-an program yang sudah satu setengah jam ku-running dan tinggal setengah jam lagi, tanggung sekali jika harus ku cancel dan melanjutkannya besok. Aku memainkan handphone-ku sembari menungggu runningan dan kubuka aplikasi pemutar lagu di handphone-eku dan memutarnya agar mengusir sepi di ruangan ini. Aku lalu mengirimkan pesan agar Dinda segera menjemputku.

Sekitar setengah jam sudah berlalu terlihat layar monitor komputer di mejaku berhenti bergerak, pertanda running-an programku sudah selesai. Kulihat jam menunjukkan pukul 17.30. Akhirnya selesai juga perjuanganku hari ini. Aku bergegas membereskan barang-barangku dan kumasukkan ke dalam tasku dengan buru-buru. Kuambil kunci ruangan di atas meja Bu Indah, sesuai dengan pesannya Bu Indah aku harus mengunci pintu ruangan ini karena memang aku yang terakhir menggunakannya dan menitipkannya di pos satpam di depan gerbang.

Aku lalu mengunci pintu dan berjalan melewati lorong menuju tangga. Saat hendak berbelok ke arah tangga, aku menangkap sesosok seperti orang yang sangat kukenal melalui celah pintu di suatu ruangan di pojok dekat tangga. Ia menghadap ke arah jendela sehingga posisinya tepat membelakangi pintu. Kuamati lebih lama sosok itu yang mengingatkanku dengan sosok yang sangat aku rindukan sejak 10 tahun yang lalu, namun sinar matahari senja yang menembus jendela di dekatnya menyilaukan mataku untuk bisa mengenali wajahnya. Baru saja akan kuputar gagang pintu ruangan itu untuk memastikan apakah dia orang yang kurindukan namun handphone-ku berbunyi. Aku lalu membaca chat yang masuk dari Dinda yang menandakan bahwa ia sudah menungguiku di depan gerbang. Aku bergegas menuruni tangga sambil masih memikirkan sosok pria tersebut, Fathur kah?

***