Aku menghela napas. Akhirnya bisa menutup laptop.
Jam kerjaku berakhir pukul 6 sore.
Aku melipat lengan sejenak di atas meja dari mahoni, berkedip memandang ke luar jendela yang terbuka. Pikiranku mengingat Allah, sementara tubuhku kembali merasakan nikmatnya bernapas. Aku merasakan semilir angin dari kaki gunung merasuk dan menyapu kulit.
Menyesapkan hawa dingin yang meradang.
Hujan lebat baru saja berhenti setengah jam lalu. Menyisakan bulir-bulir air di kaca jendela.
Aku terhenyak dalam kesendirian. Mata hitamku memerhatikan rupa Gunung Gede yang berkilau keemasan dibasuh sinar matahari senja. Dia berdiri tegar menjulang dan memenuhi seluruh pemandangan di belakang rumah. Terdapat pagar listrik yang membentang di punggung gunung. Dibangun menggunakan logam khusus.
Aku pernah menduga pagar itu difungsikan untuk membatasi pergerakan sesuatu yang buas dan liar.
Aku sedang berada di rumah kakek sekarang.
Biasanya, aku tinggal sendiri di sebuah flat sederhana di jantung kota Bogor. Kota hujan yang sejak sepuluh tahun terakhir juga telah resmi memiliki nama Bi Jiu, karena akhirnya jatuh ke tangan Pemerintah Korea.
Banyak perubahan dari Indonesia yang sulit diterima dan tidak masuk akal di tahun 2075. Namun tetap saja terjadi tanpa bisa dihindari. Lantas, bagaimana Bogor bisa dimiliki oleh Pemerintah Korea? Oh... ceritanya panjang.
Aku tak ingin menceritakannya sekarang.
Aku tinggal berdua bersama Kakek Arya. Dia satu-satunya keluargaku yang tersisa. Beliau-lah yang telah membantuku bertahan hidup sejak aku berusia empat tahun. Karena kedua orang tuaku meninggal dalam bentrokan perang sipil yang terjadi dua puluh tahun lalu.
Enam belas tahun aku tinggal di rumah ini, dan di usia ke dua puluh aku pindah ke Bi Jiu untuk belajar hidup mandiri. Kakek yang mendorongku. Di sana, aku mendapat pekerjaan di sebuah restoran mie milik pengusaha Korea. Bekerja menjadi mandor sekaligus teknisi amatir dari robot-robot pelayan buatan Tiongkok.
Hingga dua bulan lalu, tepatnya bulan Agustus, aku harus pulang ke rumah ini karena hal mendesak.
Sejak hari itu, aku lanjut bekerja dari rumah kakek. Mengawasi pergerakan robot di restoran melalui jaringan internet dan laptop yang kubawa. Kalau sesuatu terjadi, ada robot mekanik yang bisa kukendalikan dari jarak jauh. Melalui robot itu aku bisa memperbaiki robot pelayan yang bermasalah, dan sebuah android koki yang kadang bertingkah.
Sedikit berkaca pada kehidupanku di belakang, aku mengenyam pendidikan dari sekolah dasar hingga sekolah menengah akhir negeri milik Pemerintah Indonesia. Seusai itu aku tidak mengikuti dunia perkuliahan. Akibat situasi politik di daerah, tidak semua anak pribumi mendapatkan izin untuk duduk di bangku kuliah.
Mengandalkan apa yang kudapat dari sekolah menengah tentu saja tidak cukup. Apalagi kakekku bilang, aku mengikuti kurikulum mata pelajaran yang sama, dengan yang diikuti oleh beliau lebih dari enam dekade silam. Sudah usang.
"Iqro, Birma. Bacalah," pesan Kakek, saat aku masih berusia tujuh tahun. "Kau bisa mempelajari apa pun dengan membaca."
"Apakah membaca bisa membawaku masuk Surga?"
Kakek tertawa. "Itu pertanyaan sulit," katanya, sembari tersenyum. "Tapi, kau perlu ingat. Penduduk Muslim di negeri ini menderita karena berasumsi untuk masuk Surga tidak perlu membaca. Diawali ingkar membaca, maka lahirlah kemalasan berpikir dan kebodohan, yang berujung pada kemiskinan. Penduduk Surga bukan orang-orang bodoh, Birma, dan membaca akan menjauhkanmu dari kebodohan."
Itu sebabnya kakek mendorongku untuk giat membaca. Dari pada tumbuh besar hanya mengandalkan pendidikan dari sekolah negeri yang keilmuannya tidak terbaharui sekian lama. Tidak hanya sebatas membaca buku, namun juga membaca alam semesta dan kehidupan. Berkat dorongan membaca itulah, aku jadi memiliki pengetahuan terkait teknologi, dan membangun mental bekerja yang disukai si pemilik restoran mie.
Hingga dia mengizinkanku bekerja di tempatnya.