
"Huft ... tugas kimia akhirnya selesai juga." Tyara menaruh buku kimia di atas buku tugas lainnya dan mulai mengabsen tumpukan buku yang telah ia selesaikan.
"Kimia udah, sejarah indonesia udah, biologi udah, matematika udah, fisika udah." Tyara tersenyum pada tumpukkan buku tugasnya yang tertumpuk rapih di hadapannya. Tyara menatap kalender bewarna toska di hadapannya. Menunjukkan tanggal 12 yang di lingkari spidol biru olehnya. "Alhamdulillah, tugas udah beres semua dan sekarang tanggal dua belas itu tandanya drama korea kesukaan gue update yuhuuuu ...."
Kuruyuk ....
Tyara meremas perutnya yang baru saja berkokok nyaring. Dirinya berjalan lunglai menuruni tangga dengan sisa tenaganya yang masih ada. Setelah sampai di dapur, bola matanya menyapu seluruh penjuru dapur. Akhirnya, pandangannya menangkap sebuah tutup saji yang berada di atas meja makan. Ia pun mendekati benda itu.
"Hah! Air putih doang?! Aish," ucapnya kesal.
Sudah beberapa menit dirinya berkeliaran di dapur seperti hewan yang sedang mencari mangsa. Tetapi, ia tak berhasil menemukan satu macam pun yang bisa dirinya makan untuk mengganjal perutnya saat ini.
Dengan berat hati Tyara meninggalkan dapur dan melangkahkan kaki menuju ruang santai di mana tempat itu yang selalu menjadi tempat keluarganya berkumpul. Tyara merebahkan dirinya di sofa.
"Mah! Mah! Mamah? Bang Revan? Pah? Aish, kenapa rumah sepi banget, sih?!"
Suara di perut gadis itu semakin sering bergemuruh. "Malangnya perutku sayang." Tyara mengusap-usap perutnya layaknya seperti ibu hamil.
"As ... STAGFIRULLAH HAL ADZIM!" teriak seorang laki-laki saat dirinya baru mendorong pintu rumah.
Tyara segera menengok ke arah asalnya teriakkan itu. Ia mendapati kakak laki-lakinya yang sedang berjalan cepat mendekatinya dengan raut wajah mengkerut.
"Kenapa muka Bang Revan kayak baru pertama kali liat cewek cantik binti imut gini, sih? Padahal, tinggal satu atap lho, Bang. Ada yang salah dengan mata Bang Revan selama ini?"
Seketika raut wajah Revan menjadi datar dan berpura-pura mual, saat mendengar adiknya dengan percaya diri memuji dirinya sendiri.
"Ra?! Jangan bilang lo ...."
Tyara menatap Revan dengan raut wajah bingung.
Revan menunjuk perut Tyara dari kejauhan. Tyara menundukkan kepalanya ia merasa tak ada yang salah dengan perutnya, kecuali rasa lapar yang membara di dalamnya.
"I-i ...."
"I-i ... apaan, sih? to the point aja lah, Bang!"
"ISI?!" Revan menyatukan kedua tangannya di dada dan menggerakan setengah lingkaran ke bawah.
"WOY!" Tyara terlonjak dari posisi duduknya. "Sembarangan lu, Bang. Pikiran Abang gila kalik, ya? Yara gak pernah ngelakuin apa yang ada di pikiran Abang sekarang. Nauzubillah, amit-amit jabang orok." Tyara bergidik jijik dan mengetuk-ngetukkan tangannya di kepala-meja-kepala-meja.
Revan mengelus dadanya, lega. Ia menghampiri adiknya dan mengacak rambut Tyara pelan. "Huftt ... alhamdulillah, adikku masih suci."
Tyara memutarkan bola matanya malas dan bergeming kesal.
"Habis tadi Yara ngelus-ngelus perut Yara sambil ngobrol sendiri, kayak ada dedenya." Revan cengengesan yang langsung dapat tatapan maut dari adiknya.
"Idih, Abang baper! Yara tuh laper, Bang. Abang dari mana? Terus ini penghuni rumah pada kemana, coba?"
"Oh. Abang tadi keluar nemuin temen. Kalo mamah sama papah cari kado buat keponakan baru kita."
"Oh ... wait! Wait! Wait!" Tyara menyipitkan matanya. "Temen?" Tyara mengusap dagunya. "Hm ... perempuan apa laki-laki, Bang?"
"Hmm ...."
"Hayoloh, Bang ...."
"Hmm ... mau tahu?"
Tyara mengangguk antusias.
Revan mendekatkan mulutnya ke telinga kanan Tyara. "KEPO!" teriaknya sekeras mungkin di telinga adiknya dan langsung berlari secepat kilat menuju kamarnya untuk menghindari amukan yang akan segera menyerangnya.
"ABAAANG!"
Tyara berlari menyusul Revan secepat kilat, tapi tetap saja Revan telah lolos masuk dan mengunci kamarnya.
"Aish! Dikunci, lagi." Tyara memutar-mutar kenop pintu kamar Revan dengan paksa. "Abang, buka pintunya, Bang! Kuping Yara sakit tahu. Emang Abang mau punya adik conge sebelah, hah?!"
"Buka aja kalo bisa!" teriak Revan dari balik pintu.
Perut Tyara berkokok yang kesekian kalinya. "Ah, gue lupa. Awas aja lu ya, Bang!"
"Iya," ucap Revan santai.
"Aish." Tyara menendang pelan pintu putih di hadapannya. Akhirnya dengan berat hati Tyara menyerah untuk membuka pintu kamar Revan dan memilih pergi keluar untuk mencari makan.
Tyara melangkah menuju kamarnya untuk mengambil dompet, handphone, dan mengganti pakaian tidurnya.
Revan membuka pintu sepelan mungkin supaya tidak terdengar oleh adiknya. Revan menyembulkan kepalanya dan melirik ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa adiknya sudah pergi. Revan melihat adiknya sedang menuruni anak tangga.
"Bye-bye, adikku sayang, hehehe."
***
Tyara baru saja keluar dari kafe dengan menjinjing mi ramen dan menggenggam segelas kopi hangat cappucino. Ia berjalan santai sambil menikmati udara sejuk hari ini dan se sekali menyeruput minumannya.
Tyara menundukkan kepala, ternyata salah satu tali sepatunya terlepas. Lalu ia menurunkan tubuhnya untuk membenarkan tali sepatu.
"Iya, iya, sayangku, ini bentar lagi udah mau sampe, iya aku inget pesanan kamu."
"Auh!" Ringis Tyara saat tangannya dicap sepatu oleh seseorang.
Seseorang yang baru saja menginjak tangan Tyara menghentikan langkahnya.
"Em ... sayang bentar dulu, ya. Ini udah sampai, bye." Seseorang itu memutuskan telponnya.
Bola mata Tyara melihat makanan dan minuman miliknya yang sudah berserakan di aspal. Tyara menatap tajam pria di hadapannya. Bukannya membantu Tyara, seseorang itu hanya memandangi Tyara tanpa meminta maaf. Tyara berdiri sambil mengusap-ngusap tangan kanannya dan membersihkan pakaiannya yang kotor.
"Ekhem, apakah Tuan tidak merasa bersalah? Sehingga Tuan tidak meminta maaf dan membantu saya berdiri?"
Pria itu mengangkat alisnya sebelah dan menunjuk dirinya sendirinya. "Gue?"
Tyara berdecak dan menampakkan wajah kesalnya.
''Lo, yang salah," elak pria itu.
Tyara membulatkan matanya dan mulutnya bersamaan.
"Lo, ngapain duduk di pinggir jalan?"
"Heh, siapa yang lagi duduk, sih? Orang gue lagi benerin tali sepatu gue. Lagian suruh siapa nelpon sambil jalan?"
"HAM! Hak Asasi Manusia," ucap pria itu penuh penekanan. Dengan wajah tanpa dosa pria itu melangkah pergi meninggalkan Tyara seorang diri.
"Woah, udah salah, gak mau ngaku lagi! Eh,sekarang tuh orang malah ninggalin gue gitu aja, lagi."
Dengan cepat Tyara menyusul pria itu dan melebarkan kedua tangannya untuk menghalangi pria itu.
"Minggir gak, lo?!"
"Ganti rugi!"
"Gue gak salah!" Pria itu membela diri.
Tyara menunjuk makanan dan minumannya yang berserakan di aspal. Pria itu membalikkan badannya.
"Big no!"
Tyara menjetikkan tangannya tepat di wajah pria itu, "lo, yang nginjek, Tuan Songong."
''Gak! Gue gak mau ganti rugi. Minggir!" Pria itu menggeser tubuh Tyara, sehingga Tyara terjatuh ke aspal.
"Auh!" ringis Tyara kesakitan. Kini telapak tangan kirinya lecet dan berdarah.
Pria itu menengok ke belakang dan terkejut saat melihat tangan Tyara berdarah. Bukan ini yang pria itu mau. Dia hanya berniat menggeser Tyara untuk memberinya jalan, tidak sampai jatuh apalagi terluka. Pria itu menghampiri Tyara dan mengulurkan tangannya kepada Tyara berniat membantu Tyara berdiri.
Tyara menatap uluran tangan pria asing di hadapannya. Bukannya menerima uluran tangannya, ia memilih berdiri sendiri.
Nih, cewek maunya apaan, sih? Tadi minta bantuan, sekarang mau dibantu malah ... argghh! Pria itu mengepalkan tangannya lalu memasukkan ke saku celananya.
Tyara menatap tangannya yang lecet. Pria itu menatap wajah Tyara lalu menatap tangan Tyara yang lecet dan berdarah.
"Gak usah nangis, cengeng!"
Tyara menoleh mendongakkan kepalanya. "Sorry, gue gak selemah itu."
Perut Tyara berkokok lagi. Pria itu menatap perut Tyara. Tyara menundukkan kepalanya untuk menutupi malunya. Lalu gadis itu mencari uang di saku celananya, dan ternyata ia hanya memiliki uang sisa tiga ribu rupiah. Pria itu menatap iba kepada Tyara dan ia juga mulai merasa bersalah kepada Tyara.
''Ayo!'' Pria itu melangkah terlebih dahulu menuju Kafe.
Sebelum pria asing melewati dirinya, Tyara menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, gue bakal ganti rugi. Puas lo?!"
Seketika senyum Tyara mengembang dengan sempurna. Tyara berjalan cepat berusaha menyamai langkahnya dengan pria asing itu. "Kata mamah gue rezeki pamali ditolak."
Pria itu memutar malas bola matanya. "Gak peduli!"
Kring!
Pria itu mendorong pintu kaca ke dalam. Lalu, dirinya menghampiri kasir yang di ekori Tyara, dan memesan beberapa makanan dan minuman.
"Mba, pesan kopi vanilla late hangat satu, chocolate milkshake satu, mie ramen dua dibungkus, ya, Mba. Saya tunggu di meja no 5," ucap pria itu kepada salah satu pegawai penjaga kasir. "Lo, pesen terserah lo."
Tyara tersenyum manis.
Pria itu segera meninggalkan kasir dan pergi menuju meja no 5.
Tyara menarik ujung baju pria itu.
''Apa lagi?"
"Apa aja?"
"Hm."
"Awas aja ya, lo. Sampe gak bawa uang!"
"Heh, Nona bawel binti cerewet denger ya. Kalo gue butuh ini kafe, gue bisa langsung beli sekarang juga. Puas, lo?!"
Tyara tersenyum sehingga menimbulkan lesung pipinya. "Bagus kalo gitu. Udah sana, hush! Hush!" usir Tyara mendorong-dorong pria itu untuk menjauh.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya pesanan pria itu datang.
"Ini pesanannya, Kak." Seorang pelayan kafe mengulurkan pesanan pria itu.
"Terima kasih, Mba."
"Ini jumlah yang harus dibayarnya, Kak ." Pelayan itu mengulurkan selembar kertas.
"Baik, Mba." Pria itu mengambil kertas itu. Mata pria itu melotot saat tau nominal yang harus ia bayar.
"Gak ketuker sama nota orang lain kan, mba?" tanya pria itu memastikannya lagi.
Pelayan itu tersenyum kecil. "Memang segitu, Mas. Jumlah yang harus dibayar ditambah dengan pesanan pacarnya, Mas."
"Hah?! Pacar?!"
Pelayan itu tersenyum dan mengangguk kecil lalu melihat ke arah Tyara. Pria itu pun mengikuti arah tatapan pelayan itu.
Tyara menunjuk dirinya sendiri. "Saya? Oy, mba! Saya bukan pacar dia, amit-amit, mba."
"Dih! Emangnya gue mau jadi pacar lo? Ogah! Gak usah mimpi!"
Pelayan itu tertawa kecil melihat tingkah salah satu pasangan pelanggannya yang bagaikan kucing dan anjing. "Jangan ngomong amit-amit loh, mba. Soalnya kata itu bisa jadi amin-amin."
"Haha, jangan sampe, Mba. Itu cuman perkataan orang kuno." Tyara menatap pria itu dengan ekspresi jijik.
"Hey! Lo pesen apa aja?"
"Nanti lo juga tau. Katanya, beli ini kafe sekarang juga mampu. Masa bayar segitu doang ngeluh." Tyara menompangkan dagunya dan memainkan sebelah alisnya naik-turun.
Pria itu mengarahkan kedua tangannya ke Tyara seakan-akan ingin mencakar wajahnya sekarang, tapi itu adalah hal yang mustahil yang bisa ia gapai.
"Ini pesanannya, Mba." Datang dua orang pelayan sambil membawa nampan.
"Nasi merah satu, mie ramen satu, batagor satu, pempek satu, siomay satu, chicken fingers satu..."
Tyara menyambut makanannya antusias sedangkan seseorang di hadapannya terkejut dengan apa yang di pesan gadis yang bahkan ia pun tak tau namanya.
"Dasar rakus," bisik pria itu pada Tyara.
Tyara hanya menjulurkan lidahnya kepada pria itu.
".... kopi hangat cappucino satu, ice blend strawberry javachip satu, strawberry milkshake satu, air putih satu, blue mojito satu."
"Makasih, Mba."
Dua pelayan itu hanya tersenyum.
"Eh, Mba, Mba, yang di bungkus jangan lupa, ya." Tyara mengangkat kedua jempol tangannya.
Pria itu semakin dibuat terkejut dengan ucapan yang baru saja Tyara ucapkan.
Dua pelayan itu mengangguk dan pamit untuk kembali bekerja.
"Lo, mau ngerampok gue?"
"Ini bayaran buat luka yang ada ditangan gue."
Pria itu merasa sangat menyesal telah menawarkan untuk ganti rugi pada gadis saraf yang ada di hadapannya saat ini. "Dasar matre!"
"Sekali lagi ngomong! Ayo!"
"Matre!"
Tyara menginjak kaki pria di hadapannya.
"Auh!"
"Rasain!"
***
Tyara baru saja keluar dari kafe dengan pria asing yang mentraktrirnya.
"Gara-gara lo, makanan gue dingin," omel pria itu.
"Lagian Lo udah beli lagi, kan? Udah gak usah cerewet," jawab Tyara enteng.
"Masalah besar bukan di situ. Tapi orang yang gue sayang pasti nungguinnya kelamaan."
"Emang gue pikirin. Huah! Hari yang mengenyangkan. By the way, thanks traktirannya." Tyara menyengir tiga jari dan langsung melengos pergi meninggalkan pria itu, tapi dengan cepat pria itu meraih tanagan kiri Tyara.
"Suatu saat lo bakal bayar apa yang udah lo lakuin ke gue hari ini. Inget ini baik-baik," bisik pria itu.
Tyara menarik lengannya yang digenggam pria itu. Tyara pergi tanpa babibu tak mempedulikan apa yang telah pria itu ucapkan.
Pria itu mengetuk dua kali layar ponselnya. Ia sudah duga ini akan terjadi karena hari ini adalah tanggal 12.