Siaran tangga lagu mingguan dari platform musik gratis beradu dengan pecahan piring di ruang makan. Lagi, Mika melempar sepiring sarapannya ke sembarang arah. Dua lembar roti panggang itu kini berserakan di lantai. Salma hanya menghela napas panjang melihatnya. Belakangan ini, suasana hati putranya memang tengah kacau balau, terlebih setelah keviralan solois pendatang baru berkat editing sound TikTok.
Ada puluhan pertanyaan Mika yang setiap hari Salma renungi dan ratapi, contohnya saja: mengapa orang dengan mudah bisa naik daun, mengapa ia masih begini-begini saja, dan mengapa ia mesti bertahan, padahal tak menghasilkan apa pun. Mogok makan seperti sekarang hanya satu di antara ribuan cara yang sudah Mika lakukan untuk membujuk Salma. Namun, ibu satu anak itu belum mau menyerah.
"Sabar dong, Mik. Kan ini masih bulan pertama," ucapnya pelan seraya mengoleskan selai melon ke roti baru.
"Minggu lalu juga bilang gitu. Bunda nggak bosen? Aku aja capek denger omongan agensi kalau setiap comeback flop mulu. Udah modal gede, tetep nggak di-notice. Mau sampai kapan, Bun?"
Salma berdecak. "Masih pagi, Bunda males debat. Cepat habiskan sarapanmu terus berangkat. Jus apelnya jangan lupa diminum. Hari ini sama Pak Mus dulu. Nanti pulang sekolah langsung pulang, nggak usah ikut ekskul."
"Terserah."
"Mika!"
Lelaki berseragam putih abu-abu itu tak mengindahkan apa pun dan beranjak tanpa salam. Salma refleks geleng-geleng. Mood swing parah plus gejolak hormon pubertas Mika benar-benar menjadi musuhnya akhir-akhir ini. Ia lantas mengembuskan napas, menyadarkan diri agar segera kembali fokus. Ia pun mengisi tas bekal putranya dengan sandwich, dua buah apel hijau, sebotol teh herbal, dan air mineral kemasan. Semua itu dititipkan pada sang supir beserta catatan kecil untuk tidak jajan di luar yang bisa mengganggu kesehatannya.
Usainya, Salma memunguti serpihan piring yang bisa melukai siapa saja, termasuk ia sendiri. Terbukti dengan kadar melamun yang lebih mendominasi, jarinya tergores hingga berdarah. Tak seberapa memang, tetapi tetap saja nyeri. Dering ponsel yang tiba-tiba menginterupsi menjadi salah satu alasan tidak fokusnya wanita itu.
"Iya, Pak?"
"Salma!"
Sang pemilik nama sontak mengernyit saat Adit, direktur label rekaman tempat Mika bernaung, berteriak dan mengomel tentang perkara yang sama. Walaupun sudah biasa, degup jantung Salma tetap tak karuan sampai ia spontan mengelus dada. Sebagai manajer, Salma juga harus bergulat dengan situasi semacam ini. Perlahan berdiri, ia pun menyalakan speaker dan menaruh ponselnya di atas meja, sembari membersihkan ruang makan.
"Kalem, Pak. Nanti kena serangan jantung, lho," guraunya mencairkan suasana, meski tetap dibentak dan dianggap mempermainkan masalah.
"Sudah sebulan dari tanggal rilis, tapi anakmu masuk Top 100 aja nggak bisa. Mana bukti omonganmu kemarin? Udah diturutin ini-itu, masih nggak ada untungnya. Kalau gini ceritanya—"
"Setelah ini saya bicarakan dengan tim kreatif dulu, Pak."
"Mau apa lagi kamu, hah? Andai almarhum suamimu bukan bagian dari kami, Mika sudah ...."
Kepala Salma langsung hening. Ia menelan ludah, lekas terduduk dan bersandar pada pinggiran kursi. Pandangannya kosong, menatap ke arah wastafel. Air keran yang belum dimatikan kini menjadi satu-satunya sumber bunyi yang mau ia dengarkan. Jernih air yang membasahi tumpukan piring dan gelas kotor itu ia harap dapat mengosongkan pikirannya juga. Namun nihil, mustahil, Salma segera mengerjapkan mata dan menampar pipi pelan. Ia melangkah mengambil ponsel dan mematikan speaker-nya.
"Saya mau mempertimbangkan tawaran Andini kemarin tentang program survival dari GMC TV, Pak."
"Kamu yakin? Dengan kondisi anakmu yang seperti itu? Jangan main-main, Salma. Audisinya tinggal seminggu lagi."
"Karena itu saya mohon beri kesempatan untuk membahasnya dengan tim, Pak. Pak Adit tahu sendiri kalau saya dan Mika nggak mungkin seenaknya tanpa persetujuan kalian."
"Baiklah, terserah kamu saja."
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya bisa—"
Tut tut tut
Belum sampai menyelesaikan ucapannya, panggilan itu diputus sepihak oleh Adit. Tidak aneh. Siapa pun pasti muak dengan janji-janji manis Salma karena ia juga demikian. Apa gunanya mendengarkan bualan yang berulang dan tak penting? Jawabannya: tidak ada. Jika saja sedari awal Salma bisa menyumpahi mereka—yang terus menginginkan keruntuhan karier putranya—ia sudah berbuat lebih. Sayangnya, ia masih di bawah dan membutuhkan bantuan atasan.
Semua akan berbeda kalau Audi, suaminya, masih di sini.
Sekian menit bergeming, Salma sontak berdiri, meregangkan otot, dan berseru semangat. Senyumnya juga mengembang seiring dengan sorot mata yang kembali hidup. Wanita itu lalu ke kamar putranya. Ia mengambil pakaian dan sepatu ganti, juga alat rias secukupnya. Setelahnya Salma memberi pesan pada Pak Mus dan bergegas turun lagi.
Kali ini kamu harus menuruti permintaan Bunda, Mik.