Senja tertutup awan berwarna kekuningan, mengiringi langkah Arini dalam tangisnya. Istri dari keluarga terpandang, Suganda Nataprawira itu rupanya akan meninggalkan suami bersama gadis kecilnya.
"Aku pergi! Aku bawa Jazlyn. Titip Jaqleen, jaga dia baik-baik!" Pesan Arini pada suaminya Suganda Nataprawira berdiri di palang pintu gerbang rumah mewah itu.
"Kamu tidak perlu khawatir, dia akan aman bersamaku, aku juga mohon padamu, jaga Jazlyn baik-baik." Balas Suganda menggendong jaqleen.
Jaqleen pun menangis sejadi-jadinya, menyaksikan Arini melangkahkan kaki bersama kakaknya Jazlyn. Begitu juga dengan Jazlyn, gadis kecil itu pun menangis meninggalkan adik dan ayahnya disana. Arini pergi tanpa menghiraukan Jaqleen, sementara Suganda terus menghalangi Jaqleen yang berlari mengejar Arini.
Akhirnya Arini pulang ke kampung halamannya, tempat dimana ia dilahirkan. Dengan kesedihan dan luka batin yang mendalam, dia membawa Jazlyn bersamanya. Baginya tak ada lagi yang paling menyakitkan selain dipaksa berpisah dengan lelaki yang dicintainya. Wanita yang melahirkan suaminya memaksanya untuk menandatangani dokumen perceraian. Namun, hingga saat ini Arini tidak pernah memedulikannya.
"Jazlyn Sayang! Mulai saat ini, adikmu Jaqleen akan tinggal bersama Papa, dan kamu tinggal bersama Mama, kamu tidak boleh sedih, kita berdua akan baik-baik saja. Oke?" lirihnya menghapus air matanya.
Jazlyn kecil hanya mengangguk lalu memeluk Arini. Anak sekecil itu, belum mengerti arti perpisahan, yang dia tahu adalah dirinya bersama Ibunya telah pergi meninggalkan adik dan ayahnya.
Di dalam bis, Arini merenung memikirkan fitnahan yang dibuat mertua dan wanita pilihan mertuanya. Parahnya, lelaki yang menjadi suaminya itu tidak berkutik sama sekali, dia hanya menerima saja apa yang dikatakan ibunya, dia tidak berusaha mencari tahu kebenaran.
"Jazlyn, Mama berjanji akan merawatmu dengan baik, walaupun Mama tidak bekerja saat ini, Mama akan berusaha mencari pekerjaan atau usaha, agar kamu bisa sekolah tinggi dan tak ada yang merendahkanmu, seperti Mama." Gumam Arini mengusap kepala Jazlyn penuh kasih sayang.
Saat itu, hujan turun mengguyur jalanan, Arini dan Jazlyn turun dari bis lalu menepi di satu toko oleh-oleh yang berada di terminal. Seorang lelaki bertubuh kurus, tinggi dan berkulit putih berjalan menghampiri mereka membawakan payung.
"Teh Arini!" panggilnya menyodorkan payung yang dipegangnya.
"Surya?!" Jawab Arini.
"Iya, ini saya, sekarang sudah sebesar ini , Teh! Ayo! Kita harus cepet pulang! Eyang di rumah sendirian." Ajaknya membawa Arini menuju halaman parkir terminal.
"Nah! Kita naik pick up aja ya, maaf mobilnya gak semewah yang teteh punya di kota, yang penting mah bisa dipakai usaha, Teh!" ujarnya menyalakan mobilnya.
"Apa artinya kemewahan itu, Sur! Toh sekarang malah teteh tinggalkan, saat ini yang teteh pikirkan adalah bagaimana teteh punya penghasilan biar Jazlyn tidak kekurangan bahkan bisa nyekolahin Jazlyn sampai sarjana." Tutur Arini.
"Sudah, Teh! Jangan sedih lagi, teteh harus move on, tinggalkan masa lalu yang menyedihkan, teteh punya Jazlyn, punya eyang dan saya, yang akan selalu membantu teteh." Tuturnya sambil mengemudikan mobilnya.
"Teteh gak mau ngerepotin Eyang, Sur! Kalau ada informasi lowongan kerja, Teteh mau lah!" ujar Arini.
"Mending buka usaha aja, Teh! Tempat tinggal kita kan di pinggir jalan, sebaiknya teteh buka rumah makan ala kafe kayak di kota-kota besar. Tapi harganya jangan terlalu mahal, biar terjangkau sama kocek mereka." Saran Surya.
"Modalnya, Sur?" tanya Arini menoleh pada Surya.
"Modalnya-, nah itu dia, hehe saya kok gak mikirin modalnya ya, kasih saran tapi gak kasih uang." Kekehnya tertawa kecil.
"Kamu ini, Sur! Suka ada-ada aja. Untuk sekarang sih kayaknya mau urusin usaha eyang aja. Pabrik tahu eyang gimana perkembangannya?" tanya Arini.
"Masih gitu-gitu aja, Teh! Gak tahu kalau teteh yang kelola, mungkin bisa lebih maju." Kata Surya.
Lama mereka berbincang, tiba-tiba di perjalanan, seseorang menghadang mobil mereka dan memerintahkan mereka untuk turun dari mobil itu, Surya ketakutan begitu juga Arini dan Jazlyn, mereka khawatir kalau tiga orang lelaki berbadan besar itu adalah perampok.
"Siapa kalian?! Kami harus pulang! Jangan halangi jalan kami, tolong pergilah!" titah Arini memeluk erat Jazlyn.